Industri tekstil dan pakaian jadi Vietnam, yang merupakan salah satu raksasa ekspor dunia, kini sedang berada di persimpangan jalan transformasi besar. Menghadapi volatilitas pasar global, lonjakan biaya logistik, hingga tuntutan keberlanjutan yang kian ketat, sektor ini secara resmi melakukan kalibrasi ulang terhadap strategi pengembangannya untuk memastikan daya saing jangka panjang.
Dalam sebuah seminar yang diadakan pada 16 Desember sebagai bagian dari ajang HanoiTex & HanoiFabric 2025, Ketua Asosiasi Tekstil dan Pakaian Jadi Vietnam (VITAS), Vu Duc Giang, memaparkan bahwa reposisi strategis bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan mutlak bagi kelangsungan industri. Menurut Giang, Vietnam kini tidak lagi hanya fokus menjadi pusat penjahitan dengan upah rendah, melainkan sedang bertransformasi menjadi pemain dengan nilai tambah tinggi melalui tiga pilar ketahanan utama. Pilar tersebut mencakup diversifikasi pasar ekspor yang kini telah menjangkau 138 negara, diversifikasi mitra untuk mengurangi ketergantungan pada merek tertentu, serta diversifikasi produk dengan beralih ke manufaktur yang lebih kompleks.
Vu Duc Giang menegaskan bahwa peluang baru dalam rantai nilai global hanya bisa diwujudkan jika perusahaan memperkuat kapasitas mereka dalam aspek desain, teknologi, material, dan pembangunan merek. Untuk mendukung hal tersebut, industri tekstil Vietnam meluncurkan lima solusi kunci dengan transisi hijau sebagai prioritas utama. Keberlanjutan kini dipandang sebagai prasyarat wajib untuk menembus pasar internasional, bukan lagi sekadar pemenuhan regulasi administratif. Selain itu, sektor ini mulai mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI), robotika, dan otomasi untuk mendongkrak produktivitas di tengah persaingan regional yang kian sengit.
Senada dengan hal tersebut, Tran Thanh Hai selaku Wakil Direktur Badan Perdagangan Luar Negeri dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan (MoIT), menambahkan bahwa tantangan seperti tarif timbal balik dari Amerika Serikat justru menjadi katalisator bagi perusahaan lokal untuk meningkatkan kelas produk mereka menjadi lebih canggih secara teknis.
Namun, Tran Thanh Hai juga memberikan catatan kritis bahwa sektor ini masih menghadapi hambatan perdagangan yang kompleks, terutama terkait penelusuran asal-usul (traceability), ambang batas emisi karbon, dan praktik ekonomi sirkular. Beliau menyoroti bahwa kelemahan persisten dalam lokalisasi bahan baku, khususnya pada tahap tenun, pencelupan, dan penyelesaian (finishing), masih menjadi tantangan besar yang membatasi nilai tambah domestik. Oleh karena itu, MoIT mendesak adanya restrukturisasi yang lebih dalam pada rantai pasok dalam negeri agar tidak terlalu bergantung pada bahan baku impor.
Meski dibayangi berbagai tantangan tersebut, optimisme tetap membubung tinggi di tahun 2025. Ekspor tekstil dan pakaian jadi Vietnam pada tahun ini diperkirakan akan mencapai 46 miliar USD, atau tumbuh sebesar 5,6% secara tahunan. Dengan proyeksi surplus perdagangan yang melebihi 20 miliar USD, industri ini tetap kokoh sebagai pilar utama ekonomi ekspor Vietnam, sekaligus memperkuat posisinya di jajaran tiga besar eksportir tekstil dunia melalui komitmen pada digitalisasi dan pengembangan sumber daya manusia yang berkelanjutan.