Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan kinerja ekspor pakaian jadi dari Indonesia tahun ini berpotensi stagnan, bahkan menurun, akibat kebijakan tarif 19% yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap produk asal Indonesia. Wakil Ketua API, David Leonardi, menyebut kebijakan tersebut memberi tekanan tambahan bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional di tengah kondisi global yang penuh tantangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor pakaian dan aksesoris rajutan (HS 61) ke AS tercatat mencapai US$1,57 miliar pada periode JanuariāJuli 2025, atau 8,97% dari total ekspor nonmigas ke negara tersebut. Angka ini sebenarnya meningkat 18% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai US$1,32 miliar. Namun, David menegaskan bahwa lonjakan ini berpotensi terhambat ke depannya karena daya saing Indonesia melemah dibanding negara pesaing, seperti Vietnam.
Menurutnya, pasar AS masih tetap penting karena permintaannya yang besar. Meski demikian, kebijakan tarif baru dapat mengurangi keuntungan yang diperoleh pelaku usaha TPT Indonesia. David juga menyoroti adanya ketidakpastian tambahan, khususnya terkait potensi perubahan tarif Most Favoured Nation (MFN) yang berlaku umum, atau bahkan kemungkinan penambahan tarif resiprokal baru oleh AS.
Dalam kondisi ini, David menilai diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah strategis. Indonesia perlu memperluas jangkauan ke Uni Eropa, Jepang, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, sembari memanfaatkan perjanjian dagang dengan mitra strategis. Dengan begitu, sebagian ekspor bisa dialihkan ke pasar lain untuk menjaga keberlanjutan industri TPT di tengah tekanan eksternal.