Sejumlah perjanjian dagang internasional yang diteken pemerintah Indonesia diprediksi bakal memberikan peluang baru bagi kinerja emiten tekstil. Meski demikian, sektor ini masih dibayangi tantangan besar yang dapat menghambat keberlanjutan usaha.

Salah satunya melalui Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) yang baru ditandatangani dan akan berlaku efektif pada 2026. Perjanjian ini membuka peluang peningkatan ekspor produk tekstil Tanah Air ke Kanada, seiring dengan tren perdagangan kedua negara yang terus tumbuh. Pada semester I/2025, nilai perdagangan Indonesia dan Kanada tercatat US$2,72 miliar atau naik 30 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Ekspor Indonesia senilai US$1,01 miliar, sementara impor dari Kanada mencapai US$1,71 miliar. Produk ekspor utama Indonesia antara lain karet alam, alas kaki, kakao, minyak nabati, dan tekstil.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor produk jadi tekstil HS61-63 mencapai US$158,6 juta pada semester I/2025, naik 7 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Analis Kiwoom Sekuritas, Abdul Azis, menilai ICA-CEPA maupun IEU-CEPA dengan Uni Eropa akan memberi dampak positif bagi emiten tekstil dengan membuka akses pasar lebih luas dan tarif ekspor yang lebih kompetitif.

Namun, sederet risiko tetap membayangi sektor ini. Struktur biaya tinggi, efisiensi produksi yang rendah, serta beban utang masih menjadi persoalan klasik yang membebani kinerja emiten. Kasus pailit yang menimpa PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT) pada Agustus 2025 menjadi bukti rentannya sektor ini. Sebelumnya, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) juga mengalami nasib serupa dengan menutup operasionalnya pada Maret 2025 setelah gagal membayar utang. Kejatuhan Sritex bahkan berujung pada PHK terhadap lebih dari 10 ribu pekerja.

Menurut Abdul Azis, perjanjian dagang memang berpotensi meningkatkan ekspor, tetapi keberlanjutan bisnis tetap sangat ditentukan oleh perbaikan internal perusahaan. Selain itu, daya beli masyarakat yang tertekan juga mempersempit ruang pertumbuhan, sementara persaingan semakin ketat. Kondisi tersebut membuat analis masih bersikap hati-hati terhadap saham-saham tekstil. Minimnya aksi korporasi emiten tekstil pun membuat sektor ini kurang menarik di mata investor.