Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah berada di persimpangan kritis. Permintaan akan sandang sebagai kebutuhan dasar masyarakat terus berlangsung, namun produsen dalam negeri justru terhimpit oleh gelombang impor. Produk fast fashion internasional dan pakaian bekas (thrifting) menyerbu pasar lokal dengan harga tak wajar, melemahkan eksistensi pelaku industri kecil dan menengah (IKM). Kondisi ini semakin pelik ketika dominasi China sebagai pemasok utama bahan baku hingga produk jadi membuat ketergantungan industri nasional semakin kuat. Gejalanya tampak jelas: meningkatnya impor benang, penurunan kontribusi sektor TPT terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), hingga penutupan pabrik dan meluasnya pemutusan hubungan kerja.

Dalam kondisi inilah, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tekstil hadir sebagai langkah politik hukum yang bukan hanya responsif, tetapi juga strategis. Regulasi ini diproyeksikan sebagai tameng legal untuk melindungi industri nasional dari praktik impor yang merusak persaingan. Lebih dari sekadar payung teknis, RUU Tekstil mencoba mengembalikan kedaulatan ekonomi dengan menata ulang ekosistem industri TPT agar lebih berdaya saing, mandiri, dan berkeadilan.

RUU Tekstil memperkuat kewenangan negara dalam mengendalikan impor melalui mandat hukum yang jelas. Pemerintah pusat diberi hak untuk membatasi atau melarang masuknya produk TPT berdasarkan pertimbangan perlindungan pasar domestik dan pembangunan industri nasional. Ketentuan yang mewajibkan seluruh produk impor berada dalam kondisi baru menjadi pukulan telak terhadap praktik impor pakaian bekas. Kebijakan ini bukan sekadar proteksi, tetapi upaya menciptakan persaingan yang adil, mengurangi dumping harga, serta memberikan napas bagi IKM lokal yang selama ini bertarung tanpa perlindungan memadai.

Namun, strategi defensif tidak cukup untuk membangkitkan industri tekstil nasional. RUU Tekstil mengambil langkah ofensif dengan mendorong pembangunan industri dari hulu hingga hilir. Integrasi ini mencakup penyediaan bahan baku, teknologi modern, hingga infrastruktur produksi. Hal ini penting mengingat sebagian besar bahan baku tekstil di Indonesia masih diimpor, sementara banyak mesin produksi telah berusia tua dan tidak efisien. RUU ini juga menuntut pemerintah memberikan dukungan nyata, mulai dari permodalan, pelatihan, insentif, hingga promosi. Upaya tersebut diharapkan mengubah IKM dari sekadar produsen biasa menjadi pemain strategis yang mampu menghasilkan produk bernilai tinggi.

Perubahan paradigma juga diarahkan kepada konsumen melalui penjaminan standar kualitas. Dengan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara tegas dan terawasi, produk lokal diharapkan tidak lagi dipandang sebagai pilihan inferior. Jaminan kualitas dan keamanan produk menjadi alat penting mengikis stigma bahwa barang impor selalu lebih baik. Pada titik ini, RUU Tekstil memainkan peran budaya, membangun keyakinan kolektif bahwa membeli produk lokal bukan hanya bijak secara ekonomi, tetapi juga secara kualitas.

Pada sisi lain, sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci transformasi. Penurunan tenaga kerja dan rendahnya kompetensi menjadi hambatan serius bagi peningkatan kualitas produk. RUU Tekstil merespons hal ini dengan menyiapkan skema pengembangan SDM yang menyeluruh, mencakup pendidikan, pelatihan, hingga peningkatan kesejahteraan. Pelatihan diarahkan bukan hanya pada keterampilan teknis, melainkan juga manajerial serta produksi ramah lingkungan sesuai tren global industri hijau. Peningkatan kompetensi pekerja menjadi fondasi kokoh untuk menghasilkan produk berstandar internasional.

Secara keseluruhan, RUU Tekstil merupakan langkah visioner untuk menata ulang industri tekstil nasional. Regulasi ini tidak hanya merespons persoalan ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek budaya dan kesejahteraan sosial. Keberhasilannya akan terlihat bukan sekadar dari menurunnya angka impor, tetapi dari bangkitnya industri lokal, terbukanya lapangan kerja yang layak, serta terbentuknya masyarakat yang bangga menggunakan produk dalam negeri.

Pada akhirnya, RUU Tekstil bukan hanya tentang bisnis sandang. Ia adalah perjuangan kedaulatan ekonomi yang menyangkut martabat bangsa, kelestarian budaya, dan keadilan bagi pelaku usaha lokal. Implementasi yang konsisten, pengawasan yang kuat, serta keberanian pemerintah melawan praktik merugikan akan menentukan apakah regulasi ini hanya akan menjadi teks dalam undang-undang, atau menjelma sebagai kekuatan yang menghidupkan kembali denyut industri tekstil nasional.