Industri tekstil Indonesia tengah menghadapi tekanan berat akibat turunnya permintaan pasar yang menyebabkan penumpukan stok produksi di gudang. Kondisi ini membuat sejumlah pabrik terpaksa menghentikan produksi sementara, meski tidak sepenuhnya menutup operasionalnya. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa beberapa anggota asosiasi saat ini dalam kondisi “megap-megap” karena lesunya permintaan.

Meskipun tarif bea masuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia ke Amerika Serikat (AS) telah turun menjadi 19 persen, kondisi ini belum tentu menjamin daya saing produk Indonesia meningkat di pasar global. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa tarif rendah saja tidak cukup untuk memenangkan persaingan ekspor, terutama di tengah ketatnya kompetisi dengan negara-negara di kawasan.

Pemerintah Indonesia terus memperkuat posisi dagangnya dengan Amerika Serikat (AS) melalui upaya penurunan tarif ekspor menjadi 0% bagi sejumlah komoditas strategis nasional. Setelah berhasil memangkas tarif tambahan dari 32% menjadi 19% untuk seluruh produk ekspor ke pasar AS, langkah selanjutnya difokuskan pada perluasan daftar komoditas yang dapat menikmati fasilitas tarif preferensial.