Di sebuah laboratorium yang menghadap ke pesisir pantai, Dr. Elena menatap sebuah tabung kaca besar berisi cairan hijau pekat yang bergejolak pelan. Di dalamnya, jutaan mikroorganisme Chlorella sedang bekerja dalam diam, menyerap cahaya matahari dan karbon dioksida untuk membangun struktur sel mereka. Pemandangan ini mungkin terlihat seperti eksperimen energi terbarukan, namun bagi Elena, ini adalah masa depan mode dunia. Ia tidak sedang memproduksi bahan bakar; ia sedang "menumbuhkan" gaun.
Selamat datang di tahun 2025, sebuah era di mana definisi "kain" telah bergeser dari sekadar pintalan serat tanaman darat menjadi hasil rekayasa hayati yang kompleks. Di pusat revolusi ini adalah Algae Fabrics, sebuah teknologi yang mengubah persepsi kita tentang pakaian: dari benda mati menjadi sesuatu yang hampir menyerupai organisme hidup.
Selama satu abad, umat manusia terobsesi dengan poliester. Murah, kuat, dan mudah diproduksi, namun dengan harga lingkungan yang sangat mahal. Setiap kali kita mencuci pakaian sintetis, ribuan mikrolimbah plastik terlepas ke saluran air, berakhir di perut ikan, dan akhirnya kembali ke piring kita.
Krisis inilah yang mendorong para ilmuwan tekstil untuk beralih ke laut. Alga dipilih bukan tanpa alasan. Organisme ini adalah "pabrik" tercepat di alam semesta dalam memproses karbon. Mereka tidak membutuhkan lahan subur yang kini semakin langka, tidak butuh air tawar yang berharga, dan sama sekali tidak membutuhkan pestisida. Alga hanya butuh sinar matahari, $CO_2$, dan air asin untuk menciptakan biopolimer yang kelak bisa dipintal menjadi serat yang selembut sutra.
Perjalanan sehelai kaos alga dimulai di dalam bioreaktor. Di sini, alga dipanen dan diekstraksi untuk mengambil kandungan alginatnya. Prosesnya menyerupai alkimia modern: bubur alga yang kental diproses melalui mesin wet spinning, di mana cairan tersebut ditekan keluar melalui lubang-lubang mikroskopis ke dalam larutan koagulasi.
Seketika, cairan hijau tersebut memadat, membentuk serat-serat halus yang fleksibel. Serat ini kemudian dikeringkan dan dipintal menjadi benang. Hasilnya adalah kain yang memiliki tekstur unik—dingin saat disentuh seperti linen, namun memiliki kemampuan menyerap warna yang jauh lebih efisien daripada kapas. Yang lebih luar biasa, proses pewarnaannya pun seringkali menggunakan pigmen alami dari alga itu sendiri, menghilangkan kebutuhan akan bahan kimia beracun yang selama ini menghitamkan sungai-sungai di pusat industri tekstil.
Namun, narasi tentang kain alga bukan hanya soal lingkungan; ini juga soal simbiosis antara pakaian dan pemakainya. Di tahun 2025, teknologi tekstil telah mencapai tahap di mana kain alga mampu mempertahankan nutrisi alaminya.
Bayangkan Anda mengenakan pakaian olahraga yang, saat Anda berkeringat, melepaskan mineral dan antioksidan ke pori-pori kulit Anda. Kain ini tidak hanya menutupi tubuh, tetapi juga merawatnya, mengurangi peradangan kulit dan memberikan efek hidrasi. Pakaian kini berfungsi sebagai lapisan kulit kedua yang aktif secara biologis.
Lebih jauh lagi, para peneliti telah mengembangkan "tekstil fotosintetik". Ini adalah puncak dari teknologi tekstil naratif kita: kain yang mengandung sel alga yang tetap hidup di dalam seratnya. Saat Anda berjalan di bawah sinar matahari pagi, pakaian Anda melakukan fotosintesis, menyerap karbon dioksida dari udara di sekitar Anda dan melepaskan oksigen segar. Anda bukan hanya mengenakan pakaian; Anda adalah sebuah ekosistem berjalan yang membantu memurnikan udara kota yang sesak.
Kisah tragis dari pakaian modern seringkali berakhir di gunungan sampah yang tak bisa terurai. Namun, Algae Fabrics menawarkan akhir cerita yang berbeda. Dalam narasi ekonomi sirkular, kematian sebuah pakaian berbahan alga adalah awal dari kehidupan baru.
Ketika pakaian alga Anda sudah usang dan robek, Anda tidak membuangnya ke tempat sampah. Anda bisa menguburnya di pot tanaman atau mengirimnya ke pusat pengomposan. Karena terbuat dari bahan organik laut, kain ini akan terurai sempurna dalam hitungan minggu, berubah menjadi nutrisi bagi tanah. Tidak ada mikroplastik yang tertinggal, tidak ada racun yang merembes ke air tanah. Ia kembali ke bumi, mungkin suatu saat nanti menjadi bagian dari nutrisi yang mengalir kembali ke laut untuk menumbuhkan alga baru.
Tentu saja, narasi ini masih menghadapi badai tantangan. Di tahun 2025, meskipun produksi telah meningkat, harga kain alga masih lebih tinggi dibandingkan kaos berbahan poliester murah. Skalabilitas mesin ekstraksi dan upaya menjaga stabilitas sel alga hidup dalam kain masih menjadi medan tempur para insinyur. Namun, dengan semakin banyaknya regulasi ketat mengenai emisi karbon dan polusi limbah tekstil, industri mode tidak lagi punya pilihan. Keberlanjutan bukan lagi opsi "mewah", melainkan syarat mutlak untuk bertahan hidup.
Kisah tentang kain alga adalah pengingat bahwa solusi untuk masalah besar yang kita ciptakan seringkali tersedia di alam, menunggu untuk ditemukan kembali melalui lensa teknologi. Alga, organisme sederhana yang telah ada selama miliaran tahun, kini menjadi benang yang menjahit masa depan industri fashion yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih menghargai kehidupan.
Setiap helai serat alga membawa pesan: bahwa kita bisa tampil menawan tanpa harus menghancurkan rumah kita sendiri. Masa depan mode tidak lagi terbungkus dalam plastik, melainkan tumbuh subur di bawah permukaan air, dalam harmoni hijau yang menghidupkan.