Industri tekstil dalam negeri tengah menghadapi tantangan besar, meskipun data statistik menunjukkan pertumbuhan yang tampak positif. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta, menyoroti adanya kejanggalan dalam data impor yang menyebabkan ketidaksesuaian antara kondisi di lapangan dengan laporan resmi.
Salah satu faktor utama penyebab anomali ini adalah ketidaksinkronan dalam perhitungan konsumsi, yang masih didasarkan pada nilai uang tanpa mempertimbangkan volume barang yang dibelanjakan masyarakat. Redma menjelaskan bahwa meskipun nilai konsumsi mengalami penurunan, volume konsumsi tetap tinggi karena didominasi oleh barang impor ilegal yang murah. Hal ini menghambat pertumbuhan industri tekstil dalam negeri.
Lebih lanjut, Redma mengungkapkan bahwa banyak barang impor ilegal masuk ke pasar tanpa tercatat dalam data resmi. Kondisi ini menyebabkan surplus dalam neraca perdagangan, menciptakan kesan pertumbuhan industri tekstil yang keliru. Barang impor ilegal yang tidak tercatat dianggap sebagai produksi lokal, padahal sebenarnya berasal dari luar negeri. Akibatnya, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak mencerminkan realitas industri tekstil yang tengah terpuruk.
Meskipun data BPS menunjukkan pertumbuhan industri tekstil dalam kuartal terakhir, realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Redma menegaskan bahwa penurunan industri tekstil masih berlanjut dan akan terus terjadi selama impor ilegal tidak ditangani dengan serius dan perhitungan data belum diperbaiki.
Para pengusaha tekstil berharap pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap impor ilegal dan menyusun data dengan metode yang lebih akurat agar kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kondisi nyata di industri tekstil.
Sebelumnya, Redma juga mengungkapkan bahwa derasnya barang impor ilegal telah memicu deindustrialisasi dalam satu dekade terakhir. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri mengalami penurunan pertumbuhan akibat masuknya produk luar negeri secara masif.
Berdasarkan data yang dikutip dari ITC dan TradeMap, nilai ekspor TPT China ke Indonesia sepanjang 2019-2023 menunjukkan gap signifikan dibandingkan dengan data impor TPT Indonesia dari China untuk kategori HS 50-63. Dalam lima tahun terakhir, diperkirakan sebanyak 72.250 kontainer impor TPT ilegal masuk ke Indonesia, menyebabkan potensi kerugian pendapatan negara sekitar Rp46 triliun.
Secara lebih rinci, nilai ekspor TPT China ke Indonesia berturut-turut pada tahun 2019-2023 adalah US$5,09 miliar, US$3,79 miliar, US$5,86 miliar, US$6,50 miliar, dan US$5,28 miliar. Sementara itu, terdapat gap signifikan dari nilai impor TPT Indonesia dari China dengan selisih berturut-turut sebesar US$1,12 miliar, US$706,1 juta, US$1,79 miliar, US$2,12 miliar, dan US$1,47 miliar.
Fenomena ini menegaskan bahwa tanpa langkah tegas dalam mengatasi impor ilegal dan memperbaiki sistem pencatatan data, industri tekstil nasional akan semakin sulit bertahan. Kebijakan yang lebih ketat serta sistem pengawasan yang lebih baik diperlukan agar industri dalam negeri dapat kembali berkembang dan bersaing secara sehat di pasar domestik.