Pelaku industri tekstil dan garmen meminta pemerintah daerah berhati-hati dalam menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026, menyusul potensi kenaikan yang dinilai cukup tinggi. Kekhawatiran ini muncul di tengah kondisi sektor padat karya yang masih menghadapi tekanan dan pelemahan kinerja.
Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menilai kebijakan pengupahan perlu mempertimbangkan kondisi riil industri. Ia menyoroti penetapan formula UMP 2026 yang telah ditetapkan Presiden Prabowo Subianto melalui Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan, di mana kenaikan upah dihitung dari inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi yang dikalikan faktor alfa sebesar 0,5–0,9. Rentang alfa tersebut lebih tinggi dibandingkan formula sebelumnya yang berada pada kisaran 0,1–0,3.
Anne menyampaikan bahwa sektor padat karya, khususnya industri garmen dan tekstil, saat ini tidak berada dalam kondisi yang kuat untuk menanggung tambahan beban struktural. Oleh karena itu, ia menilai pemerintah daerah sebaiknya tidak lagi menetapkan upah minimum sektoral bagi sektor yang tengah melemah tersebut.
Menurutnya, peningkatan kesejahteraan pekerja seharusnya ditempuh melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi, bukan semata-mata lewat kenaikan upah minimum. Penambahan beban biaya yang tidak seimbang dikhawatirkan justru mempersempit ruang usaha dan mengancam keberlangsungan lapangan kerja formal di sektor padat karya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani. Ia menilai rentang alfa 0,5–0,9 tidak sepenuhnya mencerminkan realitas dunia usaha saat ini. Menurutnya, pelaku usaha mengusulkan agar nilai alfa ditetapkan pada kisaran 0,1–0,5, yang dinilai lebih rasional untuk menjaga keseimbangan antara pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan kemampuan riil perusahaan.
Shinta juga menyoroti kinerja sejumlah sektor industri strategis yang masih tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan mengalami kontraksi pada kuartal III-2025. Industri tekstil dan pakaian jadi, misalnya, hanya mencatat pertumbuhan sebesar 0,93%, jauh di bawah rata-rata nasional. Kondisi tersebut mencerminkan terbatasnya ruang penyesuaian bagi dunia usaha dalam menghadapi kebijakan kenaikan upah.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menegaskan bahwa upah minimum pada dasarnya berfungsi sebagai jaring pengaman bagi pekerja. Pendekatan ini dinilai penting agar perusahaan dengan keterbatasan kemampuan tetap dapat bertahan dan mempertahankan tenaga kerja.
Ia menekankan bahwa dunia usaha tidak menolak kenaikan upah. Namun, upah yang lebih tinggi sebaiknya ditempuh melalui mekanisme bipartit di tingkat perusahaan, dengan mempertimbangkan produktivitas serta kondisi keuangan masing-masing usaha.
Bob juga menyinggung tingginya Kaitz Index di Indonesia, yakni rasio antara upah minimum terhadap upah rata-rata atau median, yang dinilai dapat membatasi penciptaan lapangan kerja formal dan mendorong peralihan tenaga kerja ke sektor informal. Oleh karena itu, kebijakan pengupahan diharapkan tidak hanya berfokus pada kenaikan nominal, tetapi juga memperkuat daya tahan dunia usaha agar mampu menciptakan lapangan kerja formal yang berkelanjutan dan berkualitas.