Peluang produk tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia untuk menembus pasar Eropa melalui perjanjian Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dinilai masih menghadapi tantangan besar. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai, ketentuan keberlanjutan yang melekat dalam perjanjian tersebut justru berpotensi menjadi hambatan serius bagi industri nasional, terutama terkait penggunaan energi.

Ketua Umum API Jemmy Kartiwa menjelaskan, standar industri hijau yang diterapkan Uni Eropa membatasi penggunaan energi berbasis fosil, termasuk batu bara, yang selama ini masih menjadi sumber energi utama bagi industri TPT. Sementara itu, alternatif energi yang tersedia dinilai belum sepenuhnya siap untuk menopang kebutuhan produksi dalam skala besar.

Menurut Jemmy, larangan penggunaan batu bara membuat industri berada dalam posisi dilematis. Ketersediaan gas sebagai alternatif utama masih terbatas, baik dari sisi pasokan maupun infrastruktur. Distribusi gas menggunakan tangki dinilai tidak efisien karena akan meningkatkan biaya produksi akibat tambahan ongkos logistik, sedangkan jaringan pipa gas belum menjangkau sentra-sentra industri tekstil.

Selain persoalan gas, opsi penggunaan biomassa dari cangkang sawit yang selama ini dipandang sebagai energi terbarukan juga menghadapi kendala. Pasar global, khususnya pemilik merek internasional, menolak penggunaan cangkang sawit karena dikaitkan dengan isu deforestasi. Padahal, secara teknis cangkang sawit merupakan salah satu sumber biomassa yang dapat dimanfaatkan industri.

Jemmy menegaskan, industri TPT pada prinsipnya ingin bertransformasi menuju industri hijau dengan beralih dari batu bara ke gas pipa. Namun, keterbatasan infrastruktur energi membuat proses transisi tersebut berjalan lambat dan berisiko menyebabkan hilangnya pesanan ekspor ke Eropa. Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan industri tekstil tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait antara kebijakan perdagangan, energi, dan kesiapan infrastruktur nasional.

Dari sisi lain, Pembina API Maniwanen Marimutu menyoroti posisi industri TPT yang belum masuk dalam kategori industri strategis penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$6,5 per MMBTU. Akibatnya, biaya energi menjadi beban tambahan yang signifikan bagi pelaku usaha tekstil. Ia juga menekankan bahwa tidak semua pabrik mendapatkan suplai gas karena keterbatasan jaringan pipa, sehingga biaya energi kerap luput dari perhatian banyak pihak.

API mencatat, struktur biaya industri TPT saat ini sudah cukup berat. Sekitar 50 hingga 55 persen biaya produksi terserap untuk bahan baku, sementara sekitar 25 persen dialokasikan untuk tenaga kerja. Dengan komposisi biaya tersebut, ruang industri untuk menanggung kenaikan biaya energi menjadi semakin sempit.

Dengan berbagai kendala tersebut, API menilai manfaat IEU-CEPA berisiko tidak optimal bagi industri TPT nasional apabila tidak diiringi dengan dukungan kebijakan yang konkret serta percepatan pembangunan infrastruktur energi bersih. Tanpa langkah tersebut, produk tekstil Indonesia dikhawatirkan justru tersingkir dari pasar Eropa yang semakin ketat dalam menerapkan standar keberlanjutan.