Sejumlah kalangan pengusaha menyatakan keberatannya terkait formula kenaikan upah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025. Pasalnya koefisien alfa yang ditetapkan sebesar 0,5-0,9 jauh diatas usulan pengusaha yang sebesar 0,3-0,5. Kepastian kenaikan upah di 2026 yang masih berproses dimasing-masing daerah dengan mengikuti peraturan tersebut ditenggarai menjadi tambahan tekanan bagi industri.

Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa sudah pasti tekanan di 2026 akan semakin bertambah dan beresiko akan adanya penutupan pabrik. Namun Redma juga menegaskan bahwa kenaikan upah ini juga akan menaikan dayabeli Masyarakat.

“Jadi setelah adanya kenaikan upah nanti, pekerjaan rumah utama kita adalah agar kenaikan dayabeli ini dinikmati oleh produsen lokal sehingga roda ekonomi berputar lebih cepat” ungkap Redma. “Jangan sampai seperti tahun-tahun sebelumnya dimana setiap tahun konsumsi tekstil naik 4%-6%, tapi justru yang menikmati malah importir, devisanya lari keluar” tegasnya. Untuk itu Redma meminta Pemerintah dalam hal ini Kemenkeu, Kemendag dan Kemenperin yang disinergikan Kemenko Perekonomian untuk segera menyelesaikan masalah importasi ini.

Sebelumnya, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Rayon Tekstil (KAHMI Tekstil) menyatakan sikapnya dalam mendukung formulasi kenaikan upah 2026. Direktur Eksekutif KAHMI Tekstil, Agus Riyanto menyatakan bahwa formulasi ini sudah sangat adil dan memberikan ruang bagi masing-masing daerah untuk menyesuaikan dengan kondisi didaerahnya masing-masing.

KAHMI tekstil tidak menampik bahwa kenaikan upah ini akan membebani keuangan kerusahaan ditengah tekanan pasar yang semakin besar, namun permasalahan utama sektor TPT adalah banjirnya barang impor akibat ulah oknum pejabat korup yang bermain mata dengan importir. “Jadi tidak fair jika ulah para bandit dibebankan pada tenaga kerja atas nama dayasaing” tegasnya.

Bahkan Agus menyayangkan sikap sebagian organisasi pengusaha yang takut mengungkapkan permasalahan sebenarnya bahkan cenderung mengikuti permainan para pejabat korup ini. “Makanya banyak organisasi pengusaha yang ngomongnya tidak konsisten, karena mereka tahu cara main pejabat korup, tapi mereka harus lindungi karena punya kepentingan lain” ucap Agus. “Ya itu urusan mereka, tapi jangan jadikan tenaga kerja sebagai tumbal yang mengatas-namakan daya saing” tegasnya.

Agus mengungkapkan bahwa permasalahan utamanya kan sudah jelas yaitu importasi ilegal yang harus diselesaikan oleh Kemenkeu dan importasi legal yang harus diselesikan oleh Kemendag dan Kemenperin. “Kalau Kemenkeu sudah mengagendakan perbaikan Bea Cukai, kita tinggal tunggu langkah dari Kemendag dan Kemenperin dalam memperbaiki pemberian ijin dan kuota impornya” ujar Agus.

Agus menambahkan bahwa masalah kuota impor tekstil yang bertahun-tahun dijalankan tidak transparan tidak akan pernah selesai selama oknum pejabat pengendali mafia kuota impor masih terus bercokol di dua Kementerian itu. “Jadi oknum pejabat di Kemenkeu saat ini sedang ketar-ketir, tapi oknum pejabat di Kemendag dan Kemenperin masih pesta pora karena merasa dilindungi menterinya, pas waktunya kenaikan upah, malah tenaga kerja yang mau ditumbalkan” pungkasnya.