Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi sorotan utama dalam dunia industri tekstil Indonesia menjelang tahun 2024. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan pandangan mereka terkait permintaan kenaikan UMP sebesar 15% yang diajukan oleh serikat pekerja. Serikat pekerja telah menolak perhitungan UMP menggunakan rumus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023. Namun, API dan APSyFI menyuarakan pentingnya mempertimbangkan kenaikan UMP ini secara bijaksana, mengingat kondisi ekonomi global yang tidak stabil, yang juga berdampak pada Indonesia.

Pada malam Sabtu, tanggal 18 November, Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia (APPMI) Sulawesi Selatan menggelar acara megah, Inaguration and Fashion Tendance 2024, di Hotel Aston Kota Makassar. Bertema "Culture Revolution", acara tersebut juga menjadi momen pelantikan Badan Pengurus Daerah (BPD) APPMI Sulsel untuk masa bakti 2023-2028, dengan Ayu Gani terpilih sebagai Ketua BPD. Dalam sambutannya, Ayu Gani mengungkapkan komitmennya untuk mendukung produk lokal, terutama yang berasal dari Sulawesi Selatan. Menonjolkan semua produk UMKM menjadi fokusnya, dengan harapan untuk mendapatkan dukungan tidak hanya dari pemerintah Kota Makassar, tetapi juga menjalin kerjasama dengan daerah lain.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius akibat masih tingginya pasokan bahan baku impor di pasar dalam negeri. Situasi ini menyebabkan penjualan industri serat dan benang filamen menjadi lesu, memicu kekhawatiran akan kelangsungan industri tersebut. Farhan Aqil, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), menyoroti bahwa penurunan impor bahan baku menjadi harapan utama bagi industri TPT. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa penurunan ini hanya terjadi pada beberapa komoditas tertentu. "Tekstil impor masih membanjiri pasar, membuat sulitnya anggota kami dalam menjual produknya," ujar Farhan kepada .

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan impor bahan baku penolong sebesar 6,08% (year-on-year/yoy) dengan nilai impor mencapai US$13,44 miliar pada Oktober 2023. Meskipun terjadi penurunan, secara kumulatif hingga Oktober 2023, total nilai impor bahan baku penolong mencapai US$19,32 miliar atau turun 12,65% dibandingkan tahun sebelumnya.

Penggunaan bahan baku impor yang mencapai 60-70% dari konsumsi tekstil nasional menjadi perhatian serius. Farhan meminta pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini. Saat ini, pemerintah tengah melakukan sosialisasi terkait kebijakan tata niaga impor melalui revisi Permendag Nomor 25 Tahun 2022, termasuk pembahasan tentang subtitusi impor untuk kawasan berikat.

Namun, Farhan memperkirakan bahwa industri TPT masih akan mengalami tekanan hingga tahun 2024 jika tidak ada perhatian serius dari pemerintah. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menjelaskan bahwa pelemahan impor bahan baku juga disebabkan oleh melemahnya utilitas industri. Utilitas industri hulu ke hilir tekstil dan produk tekstil tercatat hanya sebesar 50%.

Menanggapi situasi ini, Jemmy menyatakan optimisme terkait dorongan dari Kementerian Perindustrian untuk memaksimalkan pemanfaatan bahan baku lokal guna meningkatkan utilisasi industri. Strategi ini bertujuan untuk memanfaatkan pasar lokal yang ada sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Meskipun terdapat sinyal lemahnya produksi dalam negeri, langkah-langkah strategis yang dicanangkan diharapkan dapat menguatkan industri TPT dalam menghadapi tekanan impor bahan baku yang masih dominan di pasar domestik. Namun, perhatian dan langkah konkret dari pemerintah tetap menjadi kunci dalam menjaga daya saing serta keberlanjutan industri tekstil Indonesia.