Pengusaha jasa titip, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jastip, telah menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir karena protes terhadap kebijakan pembatasan impor yang diberlakukan oleh pemerintah. Di tengah kontroversi ini, industri tekstil Indonesia berbicara mengenai dampak yang dirasakan, bersama dengan pandangan mereka tentang legalitas dan dampak ekonomi dari aktivitas Jastip. Ketua Asosiasi Produsen Benang dan Serat Filamen Indonesia (APSYFI), Redma Gita Wiraswasta, menegaskan bahwa kegiatan Jastip dianggap ilegal karena para pelaku tidak membayar pajak dan tidak memiliki izin yang sesuai. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah konferensi pers di Jakarta pada tanggal 18 Maret 2024. Menurut Redma, langkah-langkah pemerintah yang mendukung industri tekstil harus disambut baik, sementara kerjasama lebih lanjut diperlukan untuk memajukan sektor ini.
Sikap serupa juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jemmy Kartiwa, yang menyoroti bahwa kebijakan pemerintah tidak akan memuaskan semua pihak. Menurutnya, pembatasan yang diterapkan terhadap barang bawaan penumpang dari luar negeri adalah langkah yang wajar, terutama untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan adanya kontribusi pajak yang adil dari aktivitas impor.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, atau yang akrab dipanggil Zulhas, menjelaskan bahwa aturan yang mengatur pembelian barang dari luar negeri telah diperbarui dengan tujuan untuk mengatasi penyalahgunaan dan kegiatan bisnis Jastip yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan. Dalam konteks ini, pemerintah telah memperbarui aturan yang membatasi jumlah barang bawaan yang dapat dibeli oleh pelancong Indonesia dari luar negeri menjadi maksimum dua buah.
Penting untuk mencatat bahwa pembatasan impor ini bukanlah fenomena yang terisolasi di Indonesia, melainkan sebuah kebijakan yang umum diterapkan oleh banyak negara. Tujuannya adalah untuk melindungi industri lokal dan memastikan bahwa kegiatan impor tidak merugikan perekonomian domestik.
Namun, diskusi seputar pembatasan impor dan kritik terhadap Jastip juga menggarisbawahi kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh industri tekstil. Industri ini terus berjuang untuk mempertahankan daya saingnya di pasar global, sambil berhadapan dengan masalah internal seperti infrastruktur yang kurang memadai dan tantangan dalam hal kepatuhan pajak.
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak terkait. Upaya kolaboratif ini akan membantu menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif dan mendukung pertumbuhan sektor tekstil Indonesia dalam jangka panjang.