Tahun 2025 menjadi periode kelam bagi industri tekstil nasional. Satu per satu pabrik raksasa tekstil berguguran, menandai rapuhnya fondasi industri yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung manufaktur dan penyerapan tenaga kerja. Minimnya permintaan domestik akibat banjir produk impor menjadi pemicu utama, mendorong kinerja keuangan perusahaan terperosok hingga berujung penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja massal.

Data Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mencatat sedikitnya lima pabrik tekstil hulu tutup sepanjang 2025. Dampaknya tidak main-main, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Padahal, gelombang penutupan ini bukan fenomena baru. Dalam dua tahun terakhir, sekitar 60 perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) telah menghentikan operasinya, termasuk Sritex Group, salah satu ikon industri tekstil Indonesia yang pernah menyerap lebih dari 10.000 tenaga kerja.

Pelaku industri menilai tekanan yang dihadapi sektor TPT kian kompleks. Salah satu faktor krusial adalah kebijakan tata niaga impor yang kerap berubah. Regulasi yang semula tertuang dalam Permendag No. 36/2023, lalu diubah menjadi Permendag No. 8/2024, hingga akhirnya direvisi kembali menjadi kebijakan impor berbasis klaster melalui Permendag No. 16–24 Tahun 2025, dinilai belum sepenuhnya efektif. Alih-alih membendung arus impor, kebijakan tersebut justru dianggap mempermudah masuknya barang impor tanpa persyaratan teknis yang ketat.

Revisi aturan impor memang sempat memberi harapan bagi pengusaha TPT, namun persoalan lama belum tuntas. Praktik impor ilegal melalui jalur tidak resmi masih marak dan memicu dugaan kuat adanya permainan mafia impor. Produk-produk seperti kain, benang, hingga pakaian bekas atau thrifting membanjiri pasar domestik dengan harga dumping. Kondisi ini membuat produk tekstil lokal sulit bersaing, arus kas perusahaan tersendat, dan efisiensi menjadi pilihan terakhir sebelum akhirnya gulung tikar.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil, menyebut tekanan tersebut berdampak langsung pada industri hulu tekstil yang mengalami penurunan produksi signifikan. Ia menilai situasi ini sebagai gejala deindustrialisasi dini. Penutupan lima pabrik sepanjang 2025, menurutnya, disebabkan kerugian serius akibat penjualan yang tidak maksimal di pasar domestik. Farhan bahkan memperingatkan potensi penutupan pabrik lain pada tahun berikutnya jika pemerintah gagal mengendalikan impor dan tidak membuka secara transparan data penerima kuota impor terbesar yang berkontribusi pada banjir produk asing.

Ia mengungkapkan, saat ini sedikitnya enam pabrik tekstil lainnya beroperasi dengan kapasitas di bawah 50 persen, bahkan beberapa di antaranya menjalankan produksi secara on-off. Lima mesin polimerisasi telah berhenti total. Banjir produk impor dengan harga dumping, terutama kain dan benang, disebut menjadi faktor utama runtuhnya daya saing industri dalam negeri.

Sepanjang 2025, sejumlah nama besar resmi menghentikan operasionalnya. PT Asia Pacific Fibers Tbk menutup permanen pabrik poliester di Karawang setelah utilitas produksi anjlok di bawah 40 persen dan dinilai tidak lagi layak secara teknis maupun komersial. Penutupan ini berdampak besar pada penurunan penjualan dan memaksa perusahaan melakukan PHK terhadap ribuan pekerja. Sementara itu, PT Polychem Indonesia Tbk memutuskan menutup lini bisnis poliester secara permanen setelah menanggung kerugian berkepanjangan sejak pandemi Covid-19.

Tragedi terbesar datang dari Sritex Group. PT Sri Rejeki Isman Tbk resmi menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025, mengakhiri perjalanan panjang perusahaan yang berdiri sejak 1966. Krisis keuangan dan kegagalan pembayaran utang menyeret perusahaan ke jurang kepailitan, menyebabkan hampir 11.000 pekerja kehilangan pekerjaan. Salah satu anak usaha di sektor hulu, PT Rayon Utama Makmur, turut menjadi bagian dari daftar pabrik yang tutup tahun ini.

Nasib serupa dialami Sulindafin yang menghentikan produksi serat dan benang poliester, serta PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. SBAT, yang dikenal sebagai produsen benang daur ulang, tak mampu bertahan di tengah tekanan pasar dan beban keuangan yang kian berat.

Kaleidoskop industri tekstil 2025 menggambarkan sektor yang berada di persimpangan jalan. Tanpa perlindungan pasar domestik yang efektif, penegakan hukum terhadap impor ilegal, serta kebijakan industri yang konsisten dan berpihak pada penguatan produksi dalam negeri, industri tekstil nasional terancam terus kembang kempis. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia kehilangan salah satu pilar industrinya yang selama ini berperan penting dalam penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.