Industri tekstil Indonesia tengah menghadapi tantangan baru berupa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini memunculkan kekhawatiran besar di kalangan pelaku industri, yang menilai dampaknya akan merugikan, baik dari sisi produsen maupun konsumen.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma G. Wirawasta, menyoroti bahwa kenaikan PPN ini akan memengaruhi arus kas produsen. Para produsen harus menyediakan tambahan modal untuk menutupi pengkreditan PPN yang lebih besar, serta menghadapi beban bunga yang semakin meningkat. "Selisih PPN keluaran dan masukannya jadi lebih besar ke penerimaan negara, tapi ini semua dilanjutkan ke konsumen," ujar Redma (20/11/2024).
Redma menjelaskan, kebijakan ini berpotensi menaikkan harga kain dan pakaian di pasar domestik. Akibatnya, daya saing produk lokal, baik di pasar ekspor maupun domestik, akan menurun. Konsumen akan membandingkan harga produk dalam negeri dengan produk dari negara lain, yang dapat menyebabkan penurunan permintaan.
Lebih jauh, Redma mengkritik Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dinilai kurang optimal dalam mencari sumber penerimaan negara lainnya. Ia menekankan perlunya memberantas impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal yang telah lama merugikan sektor industri. Jika hal ini dilakukan, potensi tambahan PPN dari sektor TPT diperkirakan mencapai Rp30 triliun.
Dukungan atas kekhawatiran ini juga datang dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT), Reni Yanita, mengakui bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan menekan cashflow industri. "PPN sebenarnya iya [menekan industri tekstil], apalagi bahan baku kain dibeli, terjual jual jadi pakaian jadi [kena PPN]," ujar Reni.
Reni menjelaskan bahwa meskipun PPN dapat dikreditkan pada tahap akhir produksi, modal awal yang dibutuhkan industri tetap meningkat signifikan. Mulai dari pembelian bahan baku hingga proses distribusi, beban tambahan ini berpotensi menjadi kendala besar, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan menengah.
Dalam situasi ini, para pelaku industri meminta pemerintah untuk menunda implementasi kenaikan PPN hingga kondisi industri membaik. Selain itu, optimalisasi pengawasan terhadap impor ilegal serta peningkatan kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dianggap sebagai langkah yang lebih efektif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani pelaku usaha dan konsumen.
Dengan berbagai tantangan ini, kolaborasi antara pemerintah dan industri menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan daya saing sektor tekstil nasional. Jika tidak, kebijakan ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi industri yang sudah terdampak tekanan global dan persaingan ketat.