Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia menghadapi ancaman serius akibat membanjirnya barang impor ilegal. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir, lebih dari 72.250 kontainer TPT ilegal dari China telah memasuki pasar domestik. Akibatnya, negara merugi hingga Rp46 triliun, sementara industri lokal semakin terpuruk.
Data Mengungkap Realitas Pahit
Mengutip data dari ITC dan TradeMap, nilai ekspor TPT China ke Indonesia selama 2019–2023 mencapai miliaran dolar AS, namun terdapat selisih mencolok antara nilai ekspor tersebut dengan data impor resmi Indonesia. Selisih tersebut mengindikasikan besarnya volume barang yang masuk secara ilegal. Berikut data selisih nilai ekspor-impor TPT selama lima tahun terakhir:
2019: US$1,12 miliar
2020: US$706,1 juta
2021: US$1,79 miliar
2022: US$2,12 miliar
2023: US$1,47 miliar
Lonjakan impor ilegal ini telah menjadi salah satu penyebab utama menurunnya daya saing industri TPT nasional, memicu deindustrialisasi, dan menciptakan efek domino berupa kebangkrutan perusahaan besar seperti Sritex, penutupan pabrik Sepatu Bata, hingga PHK massal di lebih dari 30 perusahaan tekstil dalam dua tahun terakhir.
Harapan Baru di Bawah Pemerintahan Prabowo
Menyadari besarnya ancaman impor ilegal terhadap ekonomi nasional, APSyFI mengapresiasi langkah-langkah pemerintah untuk memberantas praktik ini. Menurut Redma, Presiden Prabowo berkomitmen menciptakan birokrasi bersih dan menyelamatkan industri TPT. Selain itu, Menkopolhukam juga mulai serius menangani shadow economy yang selama ini merugikan negara.
Namun, upaya ini menghadapi tantangan besar. Praktik impor ilegal melibatkan jaringan kompleks yang dilindungi oleh oknum aparat, sehingga pemberantasan memerlukan langkah tegas dan konsisten. Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menekankan pentingnya reformasi di sektor kepabeanan dan peningkatan integritas aparat Bea Cukai.
Tindakan Nyata Dibutuhkan
Agus Riyanto menegaskan bahwa data perdagangan yang menunjukkan selisih besar antara nilai ekspor dan impor adalah indikator jelas keberadaan impor ilegal. Selama barang murah yang dijual tanpa PPN masih beredar di pasar domestik, persoalan ini belum terselesaikan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa langkah pemberantasan ini bukan sekadar gimmick, tetapi didukung oleh penegakan hukum yang efektif. Kinerja Bea Cukai harus diperbaiki melalui reformasi sistem dan peningkatan integritas aparat.
Banjirnya TPT ilegal dari China tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga menghancurkan industri nasional. Dengan langkah-langkah strategis, termasuk reformasi birokrasi dan pengawasan perdagangan yang lebih ketat, pemerintah diharapkan mampu mengatasi tantangan ini dan memulihkan daya saing industri TPT Indonesia. Hanya dengan komitmen yang kuat dan tindakan nyata, kebangkitan industri tekstil nasional dapat terwujud.