Pertumbuhan industri tekstil Indonesia yang mulai menunjukkan tren positif justru diiringi dengan munculnya berbagai narasi negatif dari sejumlah pihak. Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menilai hal ini dapat melemahkan upaya pemerintah dalam memperkuat daya saing industri tekstil di kancah global.
Menurut Fernando, data menunjukkan bahwa industri tekstil berhasil tumbuh hingga empat persen pada 2025. Namun, di tengah capaian ini, asosiasi tekstil dinilai gencar menyuarakan isu-isu seperti banjir impor, pabrik yang gulung tikar, hingga kalah bersaing dengan produk negara lain. Narasi semacam ini, kata dia, kerap dijadikan dasar untuk menuntut berbagai insentif fiskal, seperti Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
Fernando menegaskan, meski instrumen perlindungan tersebut sah digunakan, faktanya selama puluhan tahun harga benang dan kain di dalam negeri tetap tinggi dan pasokannya kurang. Situasi ini justru menekan industri hilir dan berpotensi menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) jika kebijakan proteksi impor diberlakukan secara berlebihan, seperti dalam usulan BMAD terhadap benang asal Tiongkok.
Ia menilai, narasi negatif yang terus digaungkan dapat merusak iklim investasi serta melemahkan posisi Indonesia di pasar global. Padahal, menurutnya, pemerintah seharusnya lebih fokus memberikan perlindungan untuk memperkuat rantai pasok dan mendorong masuknya investasi baru ke industri tekstil.
Sebagai langkah korektif, Fernando bahkan mengusulkan agar asosiasi tekstil yang ada saat ini dibubarkan. Sebagai gantinya, perlu dibentuk asosiasi baru yang benar-benar mewadahi pengusaha sejati, bukan sekadar kelompok yang mencari keuntungan jangka pendek dengan membungkus kepentingan tertentu dalam narasi perlindungan industri.