Dugaan praktik mafia kuota impor kembali menyeruak di sektor tekstil. Lonjakan impor benang dan kain dituding sebagai pemicu utama runtuhnya industri tekstil dalam negeri. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyebut praktik mafia kuota impor sebagai penyebab penutupan puluhan pabrik dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ratusan ribu pekerja.

Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil Sauqi menuturkan bahwa dugaan mafia impor bermula dari peningkatan tajam impor benang dan kain. Akibatnya, sekitar 60 perusahaan produsen barang sejenis justru terpaksa gulung tikar dan merumahkan pekerjanya. Menanggapi hal ini, Kementerian Perindustrian menegaskan siap mengambil langkah tegas apabila terbukti terdapat praktik mafia kuota impor tekstil. Menteri Perindustrian Agus bahkan meminta bukti konkret agar kasus ini bisa segera ditindaklanjuti.

APSyFI menyambut baik sikap pemerintah tersebut, mengingat pemulihan ekosistem industri tekstil nasional sangat bergantung pada penegakan aturan. Aqil menegaskan bahwa menjaga ketersediaan bahan baku memang menjadi tanggung jawab pemerintah, namun hal itu harus sejalan dengan kewajiban menjaga keberlangsungan seluruh rantai industri. Jika impor justru menggantikan produksi dalam negeri, maka pemerintah dianggap gagal menjaga ekosistem rantai pasok yang terintegrasi erat dengan sektor petrokimia.

Dalam delapan tahun terakhir, industri tekstil Indonesia mengalami keterpurukan. Data APSyFI menyebutkan sekitar 250.000 pekerja kehilangan pekerjaan akibat penutupan 60 pabrik sepanjang 2023 hingga 2024. Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) mencatat tambahan 400.000 pekerja, sebagian besar dari sektor tekstil dan alas kaki, terpaksa dirumahkan hingga Agustus 2025.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan impor yang signifikan. Pada 2016, impor benang hanya 230.000 ton dan kain 724.000 ton, sementara pada 2024 masing-masing melonjak menjadi 462.000 ton dan 939.000 ton. Dampaknya, kontribusi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) terhadap PDB nasional terus merosot dari 1,16 persen pada 2016 menjadi hanya 0,99 persen pada 2024. Neraca perdagangan TPT juga menurun dari 3,6 miliar dolar AS pada 2016 menjadi 2,4 miliar dolar AS pada 2024, bahkan sejak 2017 volume perdagangan TPT mengalami defisit hingga 57.000 ton.

Meski BPS mencatat pertumbuhan industri TPT sebesar 4,35 persen pada kuartal II 2025 secara tahunan, APSyFI menilai data itu tidak memperhitungkan adanya importasi ilegal maupun investasi yang terhenti. Aqil menekankan bahwa persoalan utama saat ini bukan sekadar angka pertumbuhan, melainkan solusi atas gelombang PHK dan penutupan pabrik yang terus berlangsung.

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian menegaskan bahwa berbagai instrumen proteksi sebenarnya telah diberikan, seperti Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Polyester Staple Fiber (PSF) yang berlaku hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) hingga 2025, serta Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk benang dan kain yang berlaku hingga 2026 dan 2027. Menurut Kemenperin, proteksi tersebut memberikan keuntungan ganda bagi industri hulu, namun tidak diimbangi dengan modernisasi teknologi maupun investasi baru.

Kemenperin menyatakan bahwa setiap kebijakan impor maupun proteksi industri dijalankan berdasarkan prinsip keadilan antara hulu, intermediate, dan hilir. Industri hilir berorientasi ekspor tetap diberi kemudahan untuk bersaing di pasar global, sementara pasar domestik diarahkan untuk substitusi impor sesuai dengan kemampuan industri nasional.

Di tengah tarik menarik kepentingan tersebut, bayang-bayang mafia kuota impor masih menjadi momok yang menekan daya saing industri tekstil nasional. Tanpa penanganan tegas, sektor yang pernah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia ini dikhawatirkan akan semakin terpuruk.