Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) dalam sebulan terakhir mulai menekan kinerja eksportir Indonesia. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Toto Dirgantoro, menyebut dampaknya memang belum terlalu signifikan karena masih tahap awal, namun sudah terasa di sejumlah sektor.

Menurut Toto, beban tarif tersebut masih bisa dinegosiasikan dengan pembeli di AS. Meski begitu, dalam kondisi ekonomi global yang melambat, ekspor Indonesia ikut terdorong ke arah negatif. Data penurunan ekspor ke AS baru akan terlihat jelas setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan resmi, tetapi sektor tekstil, produk tekstil, dan elektronik sudah mulai mengalami tekanan.

Ia menjelaskan bahwa pelaku ekspor sudah sejak lama berupaya mencari pasar non-tradisional sebagai strategi diversifikasi. Upaya tersebut memang mulai membuahkan hasil, meski kontribusinya belum mampu menggantikan pasar utama seperti AS.

Toto menekankan bahwa masalah utama ekspor Indonesia bukan semata tarif, melainkan tingginya biaya logistik dan produksi di dalam negeri. Kondisi ini membuat produk Indonesia kalah kompetitif dibanding negara lain. “Misalnya tarif produk kita 19% dan Vietnam 20%, tapi biaya produksi serta logistik Vietnam jauh lebih rendah. Alhasil, harga produk mereka tetap lebih murah dibandingkan Indonesia,” jelasnya.

GPEI berharap pemerintah memanfaatkan situasi ini sebagai momentum untuk menekan biaya logistik domestik. Dengan biaya yang lebih efisien, produk Indonesia diyakini masih memiliki peluang untuk bersaing di pasar global meski dihadapkan pada tarif tinggi.