Masuknya barang-barang tekstil impor tanpa merek dengan harga murah semakin meresahkan pelaku industri dalam negeri. Fenomena ini membuat produsen lokal menjerit karena tidak mampu bersaing di pasar, terutama akibat praktik impor ilegal yang kian marak terjadi di Indonesia.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa meningkatnya impor ilegal ini merupakan dampak dari kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk China. Akibat kebijakan tersebut, banyak produsen China yang memanfaatkan Indonesia sebagai jalur alternatif perdagangan melalui praktik transhipment, yakni memindahkan barang antarnegara untuk mendapatkan Surat Keterangan Asal (SKA) Indonesia agar seolah-olah produk tersebut buatan lokal.
Menurut Redma, langkah ini tidak hanya ilegal di mata AS, tetapi juga membahayakan posisi Indonesia di perdagangan global. Jika praktik tersebut terbukti dilakukan di Indonesia, AS berpotensi mengenakan tarif impor yang lebih tinggi terhadap produk Indonesia. Selain itu, produk impor ilegal tersebut masuk tanpa membayar pajak dan bea masuk, sehingga bisa dijual dengan harga sangat murah. Kondisi ini menyebabkan produsen tekstil lokal kesulitan bersaing di pasar domestik.
Redma menekankan bahwa penegakan hukum menjadi kunci utama untuk menghentikan praktik impor ilegal. Ia menyoroti perlunya pembersihan internal di Bea Cukai agar terbebas dari oknum yang selama ini terlibat dalam praktik curang. Selain itu, ia mengusulkan perbaikan sistem kepabeanan dengan mengganti inland manifest menjadi master bill of lading dari negara asal agar potensi pemalsuan dokumen dapat ditekan. Setiap kontainer juga perlu dipindai dengan AI Scanner guna memastikan kesesuaian data dengan dokumen resmi, sekaligus menghapus sistem “jalur merah-hijau” yang sering menjadi celah penyimpangan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, turut menyoroti lemahnya pengawasan terhadap arus barang impor. Ia menjelaskan bahwa banyak barang masuk ke Indonesia secara ilegal, bukan tanpa izin, tetapi dengan cara memperoleh izin yang tidak benar. Kondisi ini membuat harga barang impor jauh lebih murah dibandingkan produk lokal.
Danang juga menyoroti adanya ketimpangan data perdagangan antara Indonesia dengan negara mitra seperti China dan Singapura, yang menunjukkan lonjakan signifikan impor ilegal. Diperkirakan ada sekitar 10.000 kontainer barang impor ilegal yang masuk setiap bulan, menyebabkan kondisi oversupply di pasar domestik dan menekan kapasitas produksi dalam negeri.
Meski demikian, Danang melihat adanya langkah positif dari pemerintah melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 17 Tahun 2025 yang memperketat impor barang jadi, serta Peraturan Menteri Perindustrian terkait tata cara penerbitan pertimbangan teknis impor tekstil dan produk tekstil (TPT). Menurutnya, dua regulasi tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam memperbaiki tata niaga impor dan melindungi industri lokal dari praktik curang para importir nakal.
Ia berharap implementasi kedua peraturan itu dilakukan secara konsisten agar Indonesia bisa terbebas dari praktik impor ilegal yang merugikan industri nasional. Dengan pengawasan ketat dan penegakan hukum yang tegas, diharapkan pelaku industri tekstil lokal kembali memperoleh ruang tumbuh yang sehat di tengah persaingan global yang semakin ketat.