Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 sebagai perubahan kedua atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan. Regulasi ini diterbitkan untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2023, sekaligus bertujuan menjaga daya beli pekerja, keberlangsungan usaha, serta stabilitas ekonomi nasional.
Salah satu perubahan paling krusial dalam aturan tersebut adalah penyesuaian nilai alfa sebagai faktor penentu Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Nilai alfa kini ditetapkan pada rentang 0,5 hingga 0,9, meningkat signifikan dibanding ketentuan sebelumnya yang berada pada kisaran 0,1 hingga 0,3.
Menanggapi kebijakan tersebut, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta pemerintah melakukan pengawasan ketat dalam implementasi PP Nomor 49 Tahun 2025. API menilai kebijakan pengupahan terbaru ini berpotensi menjadi pisau bermata dua bagi pekerja dan dunia usaha apabila tidak diterapkan secara proporsional dan hati-hati.
Direktur Eksekutif API yang juga Dewan Pakar Apindo, Danang Girindrawardana, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan daya beli pekerja dan ketahanan dunia usaha. Menurutnya, beban pengupahan pada praktiknya ditanggung oleh pelaku usaha, bukan pemerintah secara langsung.
“Jika kebijakan hanya berpihak pada pekerja atau buruh secara sepihak, dunia usaha bisa kehilangan daya tahan. Dampaknya adalah pengurangan tenaga kerja hingga pemutusan hubungan kerja, yang pada akhirnya justru menekan penyerapan tenaga kerja,” ujar Danang dalam keterangannya, Sabtu (20/12/2025).
API juga menilai kebijakan pengupahan nasional selama ini belum sepenuhnya mempertimbangkan perbedaan karakter antar sektor industri. Industri padat karya dan industri padat teknologi memiliki struktur biaya dan ketenagakerjaan yang berbeda, sehingga memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih spesifik dan berimbang.
Kekhawatiran terbesar disampaikan terhadap industri padat karya, khususnya tekstil dan garmen. Danang menyebut setidaknya terdapat tiga isu utama yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pertama, dampak berkelanjutan dari kenaikan upah pada tahun-tahun sebelumnya yang dinilai telah menekan keberlangsungan industri tekstil dan garmen nasional.
Kedua, meningkatnya arus masuk produk tekstil dan garmen impor ke pasar domestik yang berpotensi memicu praktik predatory pricing serta melemahkan daya saing produk dalam negeri. API juga menyoroti adanya celah dalam regulasi impor barang jadi melalui pemanfaatan skema industri kecil dan menengah (IKM) skala kecil dengan beban pajak minimal, yang berisiko menimbulkan distorsi persaingan.
Ketiga, API menilai sifat delegatif penetapan nilai alfa dalam rentang 0,5 hingga 0,9 yang diserahkan kepada gubernur, dengan masukan dari bupati dan wali kota, membuka ruang politisasi kebijakan upah. Kondisi ini dikhawatirkan membuat penetapan upah tidak sepenuhnya mempertimbangkan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Dalam forum tripartit nasional, Danang mengungkapkan bahwa dunia usaha sebenarnya telah mengusulkan nilai alfa berada pada kisaran 0,1 hingga 0,5 dengan tetap memperhatikan kepentingan pekerja. Ia juga mengingatkan bahwa kenaikan upah akan diikuti oleh berbagai beban tambahan bagi perusahaan.
“Kenaikan upah tidak berdiri sendiri. Perusahaan juga harus menyesuaikan struktur dan skala upah, serta menanggung kenaikan iuran wajib seperti BPJS yang berbasis persentase penghasilan,” pungkas Danang.