Industri tekstil nasional kembali terguncang akibat maraknya peredaran pakaian impor ilegal dan barang palsu di pasar domestik. Fenomena ini membuat para pelaku usaha lokal yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) merasa kian terjepit, terutama dengan membanjirnya produk bermerek tiruan asal luar negeri yang mendominasi pasar dalam negeri.

Industri tekstil nasional mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah sempat terpukul akibat pandemi Covid-19. Salah satu sinyal positif datang dari Duniatex Group, perusahaan tekstil terkemuka yang telah merekrut lebih dari 5.000 tenaga kerja baru dalam dua tahun terakhir. Penambahan ini menandai langkah optimis perusahaan dalam menghadapi masa depan industri tekstil yang lebih cerah.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan pentingnya peran industri tekstil dan produk tekstil (TPT), termasuk kulit dan alas kaki, sebagai pilar utama perekonomian nasional. Dalam menghadapi tantangan disrupsi industri, dukungan regulasi pemerintah melalui kebijakan perdagangan, industri, dan investasi menjadi sangat krusial.

Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuka peluang baru dalam peta perdagangan dan investasi global, termasuk bagi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) melihat potensi berkah dari situasi ini, dengan berbagai rencana investasi baru dan reaktivasi kapasitas produksi di sektor hulu, khususnya untuk produk polyester.

Pelaku industri tekstil di Indonesia kembali menyuarakan kegelisahan mereka atas maraknya praktik impor ilegal yang merugikan industri dalam negeri. Para pengusaha menilai banyak barang impor borongan masuk tanpa membayar pajak dan melanggar aturan, mulai dari penggunaan label hingga legalitas produk. Kesal dengan situasi tersebut, mereka meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas, bahkan sampai membinasakan pelaku usaha nakal yang merusak pasar domestik.