Industri tekstil Indonesia menghadapi tantangan serius akibat banjirnya produk tekstil impor ilegal yang mengancam kelangsungan hidup sejumlah produsen dalam negeri. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menegaskan perlunya tindakan tegas dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini sebelum semakin banyak perusahaan tekstil dalam negeri yang harus ditutup. Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyoroti dua faktor utama yang menjadi akar permasalahan dalam industri tekstil domestik. Pertama, meningkatnya impor tekstil secara ilegal yang merugikan produsen lokal. Kedua, gangguan logistik global akibat perang di Rusia-Ukraina dan di Timur Tengah, yang menghambat arus perdagangan dunia.
Industri tekstil Indonesia, meskipun merupakan salah satu sektor yang vital dalam perekonomian negara, belum merasakan dampak positif yang signifikan dari kampanye Pilpres 2024. Meskipun pesta demokrasi ini sering diharapkan dapat memberikan dorongan pada sektor industri, namun kenyataannya, belum terjadi peningkatan yang substansial dalam kinerja industri tekstil. Menurut Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, Adie Rochmanto Pandiangan, industri tekstil masih sangat mengandalkan permintaan pasar domestik, yang menyumbang sekitar 60 persen dari total permintaan. Namun, dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan oleh IKI, Adie menyatakan bahwa atribut-atribut kampanye, seperti spanduk dan kaos, yang biasanya menjadi pendorong produksi industri tekstil, belum banyak diminati dalam kampanye Pilpres 2024.
Gejolak geopolitik yang terjadi di sekitar Laut Merah telah memicu lonjakan harga dalam industri manufaktur, menghadirkan tantangan baru bagi produsen dan konsumen di Indonesia. Kenaikan tarif angkutan logistik akibat konflik tersebut telah memengaruhi biaya produksi dan distribusi, mengakibatkan potensi kenaikan harga pada sejumlah produk manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor. Asosiasi Logistik Indonesia mencatat bahwa ongkos kirim logistik naik sekitar 40% hingga 50%, menyebabkan kapal-kapal kontainer menghindari jalur konflik di Laut Merah dan memutar lewat rute yang lebih panjang, seperti Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Akibatnya, waktu tempuh perjalanan kapal menjadi lebih lama, yang berpotensi memperlambat distribusi bahan baku dan produk jadi.
Page 321 of 365