Para pedagang pakaian bekas kembali menyuarakan desakan agar pemerintah melegalkan kegiatan thrifting di Indonesia. Mereka mengklaim siap mematuhi aturan perpajakan bila praktik jual beli pakaian bekas impor diizinkan secara resmi. Aspirasi tersebut mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan untuk menghentikan impor balpres dan menindak peredaran pakaian bekas ilegal yang dinilai merugikan industri dalam negeri.

Industri hulu tekstil Indonesia tengah berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Banjirnya produk impor, khususnya kain dan benang dengan harga dumping, serta maraknya pakaian bekas impor yang beredar di pasar domestik menyebabkan tekanan mendalam bagi pabrik-pabrik lokal. Akibatnya, sejumlah perusahaan besar tumbang dan ribuan tenaga kerja kehilangan mata pencaharian.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mulai menunjukkan sinyal pemulihan yang semakin nyata menjelang akhir 2025. Berbagai indikator resmi memperlihatkan bahwa sektor hilir seperti garmen dan apparel menjadi motor utama kebangkitan, meskipun tantangan pada industri hulu masih membayangi.

Industri tekstil Indonesia masih menghadapi tekanan berat di tengah tren ekspansi sektor manufaktur nasional. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada November 2025 berada pada level ekspansi 53,45. Namun, dari 23 sub sektor manufaktur, industri tekstil menjadi satu-satunya yang mengalami kontraksi—bahkan dalam dua bulan berturut-turut setelah Oktober 2025 menunjukkan hasil serupa.

Perdebatan mengenai akar persoalan menurunnya daya saing UMKM tekstil kembali mencuat seiring dengan maraknya isu penertiban pedagang pakaian bekas atau thrifting. Para pelaku usaha thrifting menolak apabila penurunan kinerja UMKM dikaitkan dengan keberadaan mereka, karena menilai segmen pasar yang dibidik berbeda. Di hadapan Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI, mereka justru menyoroti membanjirnya pakaian impor murah sebagai faktor utama yang menekan pelaku industri tekstil lokal.