Sebuah laporan baru-baru ini mengungkapkan potensi ekonomi besar yang belum dimanfaatkan di Amerika Serikat: daur ulang tekstil ke tekstil. Menurut laporan tersebut, industri ini memiliki potensi untuk membuka peluang ekonomi senilai $1,5 miliar jika dikelola dengan benar. Namun, meskipun potensinya besar, kondisi saat ini mengenai pembuangan tekstil di AS masih jauh dari optimal. Hanya sekitar 15 persen dari 17 juta ton limbah tekstil di negara ini yang didaur ulang, sementara 85 persen sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar.
Laporan ini menekankan urgensi untuk mengatasi pengelolaan pembuangan pakaian yang kurang efektif. Sebagai salah satu konsumen utama pakaian dan alas kaki di dunia, AS menghadapi pertanyaan kritis mengenai nasib pakaian yang dibuang. Bagaimana masyarakat membuang pakaian yang tidak diinginkan? Apa saja bahan yang menyusun pakaian yang dibuang tersebut? Dan apa artinya ini bagi inisiatif seperti Syre yang bertujuan membangun ekosistem daur ulang tekstil ke tekstil?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendesak ini, Fashion for Good, sebuah platform inovasi yang berbasis di Amsterdam, melakukan survei komprehensif yang mencakup California, Colorado, Florida, Texas, dan New York. Survei ini bertujuan untuk memetakan lanskap limbah tekstil sepanjang tahun, dan mengungkapkan perbedaan signifikan antar wilayah. Kurangnya kematangan peraturan tentang akhir masa pakai produk di AS, dibandingkan dengan Eropa, menunjukkan perlunya diskusi kebijakan yang lebih luas dan inisiatif untuk menangani tanggung jawab produsen yang diperluas.
Salah satu temuan mencolok dari survei ini adalah perbedaan tingkat kelayakan tekstil pascakonsumen untuk didaur ulang antara AS dan Eropa. Sementara Eropa memiliki tingkat kelayakan sebesar 74 persen, AS tertinggal dengan 56 persen. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan praktik penyortiran yang berbeda, di mana operasi di Eropa menunjukkan pendekatan yang lebih terperinci dalam memisahkan tekstil yang dapat digunakan kembali dan yang tidak dapat dipakai lagi.
Selain itu, survei ini juga mengungkapkan sikap masyarakat Amerika terhadap pembuangan tekstil, dengan lebih dari 60 persen responden memilih metode pengalihan seperti donasi, penjualan kembali, atau daur ulang. Namun, tantangan logistik tetap ada, terutama terkait dengan inisiatif pengumpulan di pinggir jalan. Upaya untuk memperlancar daur ulang tekstil membutuhkan investasi besar dari pemerintah daerah dalam infrastruktur dan pendidikan, serta membangun kepercayaan melalui transparansi.
Kolaborasi di antara para pemangku kepentingan sangat penting untuk mendorong kemajuan dalam daur ulang tekstil. Inisiatif seperti Accelerating Circularity telah menunjukkan potensi keberhasilan kolaborasi di seluruh rantai pasokan tekstil. Namun, memperluas upaya tersebut memerlukan keselarasan dan interoperabilitas yang lebih besar di antara para pelaku industri.
Melihat ke depan, laporan ini menekankan perlunya inovasi dan investasi dalam teknologi penyortiran untuk meningkatkan efisiensi proses daur ulang tekstil. Dukungan kebijakan, seperti Americas Act yang didukung bipartisan, dapat memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan bagi industri mode sirkular, meskipun masih ada ketidakpastian di bidang pendanaan federal.
Pada akhirnya, laporan ini memunculkan pertanyaan kritis tentang masa depan daur ulang tekstil di AS. Haruskah fasilitas daur ulang dipusatkan atau didesentralisasi? Bagaimana cara menciptakan insentif untuk menarik investasi dalam infrastruktur daur ulang? Pertanyaan-pertanyaan ini menyoroti kompleksitas transisi menuju ekonomi sirkular dalam industri tekstil dan perlunya dialog multi-pemangku kepentingan untuk merancang jalur keberlanjutan ke depan.