Pasca Brexit, lanskap ekspor pakaian dan alas kaki Inggris mengalami perubahan drastis, dengan ekspor ke Uni Eropa mengalami penurunan signifikan. Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Retail Economics dan marketplace online Tradebyte mengungkap tantangan multifaset yang dihadapi oleh bisnis, mulai dari regulasi yang rumit hingga birokrasi perbatasan, yang akhirnya menyebabkan penurunan ekspor yang mencengangkan.
Menurut laporan tersebut, ekspor pakaian dan alas kaki ke negara-negara Uni Eropa anjlok dari £7,4 miliar pada tahun 2019 menjadi hanya £2,7 miliar pada tahun 2023. Penurunan tajam ini berdampak pada sektor barang non-makanan, mengakibatkan penurunan keseluruhan sebesar 18% dalam ekspor ke negara-negara pasar tunggal Uni Eropa.
Dampak dari penurunan ini dirasakan oleh merek dan pengecer Inggris, terutama usaha kecil dan menengah yang menghadapi birokrasi yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan besar. Richard Lim, Kepala Retail Economics dan salah satu penulis laporan tersebut, menyoroti perubahan struktural dalam rute perdagangan, dengan beberapa perusahaan Inggris memilih untuk mendirikan kantor di dalam pasar tunggal untuk mengatasi regulasi perbatasan yang kompleks.
Dampaknya tidak hanya pada angka-angka, banyak produsen pakaian berbasis di Inggris yang memilih untuk memindahkan produksi ke negara-negara Uni Eropa, memicu kekhawatiran tentang hilangnya pekerjaan dan berkurangnya keterampilan di dalam negeri. Misalnya, sebuah produsen kaus kaki yang sudah lama berdiri di Leicester memutuskan untuk memindahkan produksi ke Italia, menandai akhir dari operasi lebih dari satu abad di East Midlands.
Selain itu, Inggris kehilangan peluang untuk memanfaatkan lonjakan penjualan barang secara online di dalam Uni Eropa sejak tahun 2019. Meskipun pasar e-commerce Eropa tumbuh pesat, kompleksitas perdagangan terkait Brexit menghalangi merek dan pengecer Inggris untuk meraih peluang yang menguntungkan ini, menurut laporan tersebut. Richard Lim menekankan hal ini sebagai peluang yang sangat terlewatkan bagi bisnis Inggris.
Di tengah situasi ekspor yang suram, ada secercah harapan di bidang ekspor jasa. Sebuah laporan terpisah oleh think tank 'UK in a Changing Europe' mengungkapkan lonjakan hampir 30% dalam ekspor jasa sejak Februari 2020, didorong terutama oleh ledakan jasa bisnis. Pertumbuhan ini secara mencolok membuat sektor jasa menjadi sektor ekspor terbesar Inggris, melampaui manufaktur dan peralatan transportasi. Namun, laporan tersebut menyoroti kurangnya kejelasan mengenai alasan di balik ketahanan dan pertumbuhan ekspor jasa Inggris yang sebagian besar tidak terpengaruh oleh perubahan aturan Brexit.
Ke depan, Rain Newton-Smith, Kepala Konfederasi Industri Inggris (CBI), menganjurkan peninjauan komprehensif terhadap hubungan perdagangan Inggris dengan Uni Eropa. Dengan pemilihan umum yang semakin dekat pada 4 Juli, Newton-Smith mendorong adanya ‘langkah berani’ untuk menarik investor internasional, dengan mengusulkan peninjauan kesepakatan perdagangan Inggris-UE pada tahun 2026 sebagai momen yang tepat untuk mengatasi friksi perdagangan yang memengaruhi bisnis.
Sebagai kesimpulan, penurunan tajam dalam ekspor pakaian dan alas kaki ke Uni Eropa menegaskan kebutuhan mendesak bagi pembuat kebijakan untuk menilai kembali dan menyesuaikan dinamika perdagangan Inggris. Seiring bisnis bergulat dengan dampak gangguan yang disebabkan oleh Brexit, upaya bersama untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang lebih kondusif sangat penting untuk melindungi kepentingan ekonomi negara.