PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, yang pernah berjaya sebagai raksasa tekstil Indonesia, kini resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Perusahaan yang berdiri sejak era Orde Baru ini tak mampu bertahan menghadapi tekanan finansial hingga akhirnya terjerat utang.

Sritex didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto, seorang pedagang kain asal Solo yang memulai bisnisnya sejak usia 20-an. Pada usia 26 tahun, ia mendirikan UD Sri Redjeki di Pasar Klewer Solo, yang kemudian berkembang menjadi pabrik cetak tekstil bernama Sritex. Keberhasilan ini semakin kokoh berkat kedekatan Lukminto dengan Presiden Soeharto dan tokoh-tokoh penting di era Orde Baru, termasuk Harmoko, yang dikenal sebagai tangan kanan keluarga Cendana.

Namun, kejayaan itu kini tinggal kenangan. Putusan pailit Sritex berdampak besar, terutama bagi ribuan buruh yang menggantungkan hidup mereka pada perusahaan ini. Sekitar 10 ribu buruh sempat merencanakan aksi besar-besaran pada 14-15 Januari 2025 untuk mendesak Mahkamah Agung mempertimbangkan nasib mereka. Buruh dari berbagai daerah, seperti Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang, bersiap menyuarakan tuntutan mereka.

Namun, aksi tersebut akhirnya ditunda setelah adanya dialog dengan Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer. Pemerintah berjanji akan mengupayakan kelangsungan usaha Sritex dan menjamin nasib para karyawan. Kendati demikian, serikat pekerja tetap berkomitmen mengawal proses hukum dan memastikan nasib buruh tidak terabaikan.

Keputusan ini bukan akhir dari perjuangan buruh Sritex. Mereka berencana terus menyuarakan aspirasi kepada DPR, Mahkamah Agung, hingga Presiden Prabowo Subianto. Jika upaya hukum tidak membuahkan hasil, aksi lebih besar dengan melibatkan keluarga buruh dan masyarakat sekitar pabrik bisa kembali digelar. Runtuhnya Sritex menjadi gambaran nyata bagaimana industri tekstil, yang dahulu menjadi kebanggaan nasional, kini harus berjuang untuk bertahan di tengah krisis.