Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai target kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 20% dapat dicapai tahun ini apabila pemerintah serius dalam mengurangi porsi impor tekstil dan produk tekstil (TPT). Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menegaskan bahwa masalah utama industri manufaktur, khususnya TPT, adalah kurangnya persaingan yang adil di pasar domestik akibat banjir produk impor murah.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menegaskan bahwa industri tekstil Indonesia masih memiliki prospek cerah, asalkan biaya energi dan logistik bisa ditekan melalui dukungan infrastruktur yang memadai.

Pada akhir Agustus hingga awal September lalu, sejumlah desainer fesyen dan perwakilan industri tekstil Indonesia menghadiri BRICS+ Fashion Summit dan Moscow Fashion Week di Moskwa, Rusia. Dari dua forum internasional tersebut, mereka membawa pulang optimisme untuk memperluas pasar tekstil Indonesia. Namun, agar mimpi itu terwujud, dukungan kuat dari pemerintah menjadi kunci utama.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantui industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) menyatakan keresahan atas kondisi tersebut, yang kini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tetapi juga tenaga ahli hingga manajemen menengah.

Industri tekstil nasional kembali menghadapi tekanan besar akibat derasnya arus impor. Para pelaku usaha mendesak pemerintah agar segera menetapkan pembatasan kuota impor pakaian jadi dan produk tekstil maksimal 50 ribu ton per tahun. Usulan tersebut disampaikan Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, menyusul gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta penutupan pabrik di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).