Industri fashion global menjadi salah satu penyumbang terbesar limbah plastik dan pencemaran lingkungan akibat tingginya konsumsi pakaian berbahan sintetis. Menurut penelitian North Carolina State University yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communication, lebih dari 20 juta ton sampah plastik dihasilkan dari konsumsi pakaian pada 2019, di mana 40 persen di antaranya tidak dikelola dengan baik dan mencemari lingkungan.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia mengalami tekanan berat yang berujung pada gelombang penutupan pabrik, baik skala kecil, menengah, maupun besar. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) mencatat bahwa sebanyak 61 pabrik tutup sepanjang 2023-2024, termasuk PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang merupakan salah satu pemain besar di industri ini.

Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo terus memetakan kebutuhan tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen di wilayah Soloraya. Hingga 4 Maret 2025, total kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor telah mencapai 22.123 orang, dengan sekitar 8.000 di antaranya berasal dari sektor tekstil dan garmen.

Industri tekstil dalam negeri mengalami tekanan berat akibat maraknya impor ilegal. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) mengungkapkan bahwa praktik ini telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan sejumlah pabrik tekstil di berbagai wilayah, khususnya di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Industri tekstil dan garmen di Indonesia memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja, ekspor, dan output industri manufaktur. Namun, kombinasi berbagai masalah struktural dan dinamika ekonomi mendorong sektor ini semakin mendekati fase 'sunset industry'.