Krisis pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia menjadi sorotan utama, dengan berbagai faktor yang mempengaruhi situasi ini. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, menguraikan beberapa alasan di balik fenomena ini yang masih menghantui sektor tersebut hingga tahun 2024.
Sektor tekstil Indonesia saat ini menghadapi beragam tantangan yang semakin kompleks, terutama dengan adanya dinamika pemilihan presiden (Pilpres) yang berdampak pada sektor perekonomian. Anton, seorang pengamat industri tekstil, menggambarkan berbagai masalah yang dihadapi sektor ini, mulai dari persaingan global hingga inovasi teknologi.
Industri tekstil di Indonesia sedang menghadapi krisis besar dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantui para pekerja. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PPP, Nurhayati Effendi, meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini dengan menghambat laju barang impor, khususnya dari China.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja baru-baru ini mengungkapkan bahwa pasar tekstil dunia saat ini tengah dibanjiri oleh pasokan yang melimpah. Kondisi ini disebabkan oleh daya beli masyarakat global yang belum sepenuhnya pulih akibat situasi ekonomi global yang masih tidak stabil. "Ini mengakibatkan dunia kelebihan supply termasuk China sebagai negara produsen (Tekstil dan Produk Tekstil) TPT terbesar dunia," jelas Jemmy pada Sabtu (15/6).
Perusahaan tekstil di Indonesia sedang menghadapi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah mengakibatkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan mereka. Dari Januari hingga Juni 2024, tercatat ada sepuluh perusahaan tekstil yang belum membayarkan pesangon kepada karyawan yang terkena PHK. Menanggapi situasi ini, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, M. Nabil Haroen, yang akrab disapa Gus Nabil, menegaskan pentingnya perusahaan segera memenuhi kewajiban mereka kepada para pekerja.
Page 188 of 255