Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar akibat membanjirnya produk impor murah dari Tiongkok, khususnya di sektor tekstil dan produk tekstil. Bahkan, indikasi masuknya barang-barang ilegal semakin memperburuk situasi, terlihat dari adanya perbedaan data ekspor-impor antara Indonesia dan Tiongkok.
Produk impor ilegal menjadi ancaman serius bagi industri tekstil dan pengusaha ritel nasional. Barang-barang ini bisa dijual dengan harga jauh lebih rendah karena tidak dikenai Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan tidak memenuhi standar SNI. Pemerintah sendiri telah menetapkan BMTP pada 134 pos tarif produk pakaian dan aksesoris sejak November 2021 hingga November 2024, dengan tarif awal berkisar antara Rp19.260 hingga Rp63.000 per potong yang secara bertahap akan menurun.
Di pasar ritel, produk ilegal ini semakin menekan pelaku usaha lokal yang juga membidik segmen konsumen menengah ke bawah. Data dari Trademap, yang dikembangkan oleh International Trade Center, menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara nilai ekspor pakaian jadi dari Tiongkok ke Indonesia dengan nilai impor resmi yang tercatat di Indonesia, mengindikasikan potensi penyelundupan barang.
Selain masalah impor ilegal, industri tekstil nasional juga harus bersaing dengan produsen dari negara seperti Tiongkok, Vietnam, dan Bangladesh, yang mampu menawarkan harga lebih murah karena biaya tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Persaingan ketat ini menuntut pelaku industri dalam negeri untuk terus berinovasi dan meningkatkan daya saing agar mampu bertahan di tengah serbuan produk impor.