Sejak dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung (MA) pada Desember lalu, penyelesaian pembayaran utang PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) kepada para kreditur masih belum menemukan kejelasan. Para kreditur terus mendorong manajemen dan kurator untuk berunding guna menentukan masa depan perusahaan tekstil tersebut.

Di tengah ketidakpastian ini, perbankan sebagai salah satu kreditur utama telah mengambil langkah antisipatif dengan meningkatkan alokasi biaya provisi. Langkah ini bertujuan untuk memitigasi potensi kerugian akibat piutang yang berisiko tidak terbayar.

PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mencatat kenaikan signifikan dalam biaya provisinya pada kuartal IV-2024, yakni sebesar 50,3% secara kuartalan menjadi Rp2,82 triliun. Konsekuensinya, laba BNI mengalami penurunan 8,2% menjadi Rp5,15 triliun di periode yang sama. Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, memastikan bahwa dengan langkah pencadangan ini, dampak keuangan akibat piutang Sritex tidak akan terlalu signifikan di masa depan.

Menurut data tim kurator per 2 Februari, BNI telah mengajukan klaim piutang sebesar Rp2,99 triliun, yang telah diakui oleh kurator. Namun, piutang ini masuk dalam kategori pinjaman konkuren, yang berarti BNI tidak memiliki jaminan khusus dan baru akan menerima pembayaran setelah kreditur preferen dan separatis.

Selain BNI, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga mengajukan klaim piutang sebesar Rp1,44 triliun, dengan Rp24,51 miliar masuk dalam kategori pinjaman separatis dan sisanya dalam kategori pinjaman konkuren. EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, menyatakan bahwa BCA akan terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan untuk mencapai solusi terbaik bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses kepailitan Sritex.

Langkah antisipatif perbankan ini mencerminkan kehati-hatian dalam menghadapi risiko kredit bermasalah serta memastikan ketahanan keuangan di tengah gejolak industri tekstil yang semakin kompleks.