Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai insentif fiskal yang diberikan pemerintah belum cukup untuk membangkitkan kembali industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Dukungan regulasi, efisiensi biaya produksi, hingga pembenahan infrastruktur energi dinilai sama pentingnya agar industri padat karya ini bisa kembali kompetitif.

Wakil Ketua API, David Leonardi, menegaskan bahwa pertumbuhan manufaktur nasional tidak bisa hanya bergantung pada insentif fiskal. Menurutnya, kebijakan pajak harus diiringi paket kebijakan lain yang benar-benar mendukung iklim usaha. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh 4,35% year-on-year pada kuartal II/2025. Meski sedikit melambat dibanding kuartal sebelumnya yang mencapai 4,64%, angka tersebut jauh lebih baik dari pertumbuhan tipis 0,03% pada periode yang sama tahun lalu.

Namun, di balik pertumbuhan tersebut, industri TPT masih menghadapi ancaman serius berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik. API menekankan bahwa selain insentif fiskal, pelaku usaha menantikan langkah nyata pemerintah dalam deregulasi impor bahan baku. Deregulasi yang berjalan seiring insentif pajak diyakini akan memberi dampak lebih signifikan terhadap pertumbuhan industri.

Selain itu, faktor harga gas industri, biaya logistik yang efisien, serta penghapusan beban puncak listrik disebut sebagai elemen vital untuk meningkatkan daya saing produk tekstil, terutama di pasar ekspor. Tanpa pembenahan di sektor energi dan logistik, sulit bagi industri ini untuk kembali menjadi motor penggerak ekonomi nasional.

David menambahkan, insentif pemerintah sebaiknya lebih tepat sasaran. Misalnya berupa pengurangan bea masuk untuk bahan baku yang belum diproduksi di dalam negeri, super deduction tax bagi industri padat karya berorientasi ekspor, hingga subsidi bunga kredit atau penjaminan pembiayaan untuk sektor kecil-menengah. Ia juga mendorong adanya tax holiday terbatas bagi investasi di sektor hulu seperti serat sintetis dan technical textile, serta dukungan fiskal untuk investasi mesin hemat energi dan ramah lingkungan. Dengan langkah tersebut, industri TPT diharapkan mampu memenuhi standar keberlanjutan yang menjadi syarat utama pasar global.

Sebagai catatan, belanja perpajakan pemerintah untuk industri pengolahan terus meningkat. Pada 2026, alokasinya diproyeksikan mencapai Rp141,7 triliun, naik dari Rp137,2 triliun tahun ini. Tren ini sudah berlangsung beberapa tahun terakhir, mulai dari Rp72,3 triliun pada 2021, Rp82,2 triliun di 2022, Rp88,8 triliun di 2023, hingga Rp98,9 triliun pada 2024.