Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, mengungkapkan keprihatinannya terhadap maraknya impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) ilegal yang masuk ke Indonesia. Menurutnya, kondisi ini sudah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan, karena tidak hanya memukul industri nasional tetapi juga memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor padat karya.

Berdasarkan data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), sekitar 28.480 kontainer TPT ilegal masuk ke Indonesia setiap tahun. Barang-barang tersebut lolos dari bea masuk dan pajak, sehingga bisa dijual jauh lebih murah daripada produk dalam negeri. Otoritas Bea dan Cukai pun telah mengakui bahwa pengawasan terhadap impor ilegal kini menjadi prioritas.

“Masuknya puluhan ribu kontainer tekstil ilegal ini sudah menembus titik kritis. Ini bukan hanya soal perdagangan, tapi soal kelangsungan hidup industri nasional,” ujar Lamhot dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Lamhot menilai salah satu penyebab utama maraknya impor ilegal adalah penyimpangan fungsi kawasan berikat. Kawasan yang semestinya menjadi fasilitas untuk mendukung ekspor justru banyak yang berubah fungsi menjadi jalur distribusi barang impor ke pasar domestik. “Fungsi kawasan berikat sudah melenceng jauh dari semangat awalnya. Banyak yang tidak lagi fokus mendukung ekspor, tapi justru menjadi pintu masuk bagi produk impor,” tegasnya.

Ia meminta agar pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan audit menyeluruh terhadap kawasan berikat yang diduga menyalahgunakan izin. Lamhot juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan di pelabuhan dan pusat distribusi, yang memberi celah bagi oknum pelaku usaha dan aparat untuk memanfaatkan sistem ekspor-impor secara tidak sah.

Akibat maraknya impor ilegal, sekitar 60 perusahaan tekstil nasional telah gulung tikar dalam dua tahun terakhir. Salah satu yang paling terdampak adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang terpaksa menghentikan operasionalnya. Imbasnya, lebih dari 250.000 pekerja kehilangan pekerjaan, dengan 13.800 orang di antaranya terkena PHK sejak awal 2024.

Lamhot menegaskan bahwa situasi ini bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga sosial. “Di balik angka-angka itu ada keluarga yang kehilangan penghasilan. Kalau kondisi ini dibiarkan, industri tekstil kita bisa mati perlahan,” katanya.

Selain lemahnya pengawasan, Lamhot juga menyoroti kebijakan impor yang dinilai terlalu longgar. Ia menilai Permendag Nomor 8 Tahun 2024 telah memperlemah kontrol terhadap impor TPT, terutama produk siap pakai. Akibatnya, industri lokal kehilangan daya saing karena harus menanggung biaya produksi dan regulasi yang lebih tinggi dibanding produk impor yang masuk dengan mudah.

Menurut perhitungan APSyFI, impor ilegal dari Tiongkok selama lima tahun terakhir mencapai 72.250 kontainer, dengan potensi kerugian negara hingga Rp 46 triliun akibat hilangnya bea masuk, pajak, dan kontribusi industri. “Kerugian ini bukan hanya soal uang, tapi juga hilangnya masa depan industri nasional. Pada akhirnya, rakyat kecil yang jadi korban,” tegas Lamhot.

Karena itu, ia mendesak pemerintah melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan aparat penegak hukum. Ia menilai, penanganan persoalan ini tidak bisa dilakukan secara parsial dan harus mencakup penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku maupun oknum yang terlibat.

Sebagai politisi senior Partai Golkar, Lamhot menekankan bahwa industri tekstil merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional karena menyerap jutaan tenaga kerja. “Negara wajib hadir untuk melindungi industri ini. Jika tekstil tumbang, dampaknya akan terasa luas ke berbagai sektor dan masyarakat di bawahnya,” pungkasnya.