Fenomena membeli pakaian bekas atau thrifting yang kini marak di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, ternyata membawa dampak serius bagi industri tekstil dalam negeri. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa praktik impor ilegal pakaian bekas telah menggerus sekitar 15 persen pangsa pasar produsen tekstil nasional.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menegaskan bahwa impor pakaian bekas merupakan aktivitas ilegal yang sudah dilarang pemerintah, namun masih terus berlangsung karena tingginya permintaan pasar. “Impor baju bekas ini menggerus 15 persen pasar produsen tekstil domestik. Ini juga menambah tumpukan sampah. Praktik yang sangat ilegal ini sebenarnya sudah dilarang oleh pemerintah, namun tetap berlangsung,” ujarnya pada Jumat (31/10/2025).
Menurut Esther, maraknya impor baju bekas ilegal tak lepas dari dua faktor utama, yakni meningkatnya minat masyarakat terhadap produk bermerek dengan harga murah dan lemahnya daya saing industri lokal. Tren thrifting yang dianggap keren dan ramah lingkungan oleh sebagian masyarakat justru menjadi tantangan besar bagi produsen tekstil dalam negeri. “Orang ingin bergaya dengan pakaian-pakaian branded, tetapi harganya sangat murah. Jadi ini yang membuat impor baju bekas selalu ada demand-nya, bahkan meningkat dari tahun ke tahun,” jelasnya.
Berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat praktik impor pakaian bekas ilegal mencapai sekitar Rp1 triliun per tahun. Selain merugikan industri dalam negeri, aktivitas tersebut juga menimbulkan dampak lingkungan berupa peningkatan volume limbah tekstil yang sulit didaur ulang.
Esther menilai lemahnya pengawasan di lapangan dan penegakan hukum yang belum optimal membuka peluang bagi mafia impor lintas negara untuk terus beroperasi. Ia menyarankan pemerintah memperketat sistem perizinan impor dengan memprioritaskan penggunaan Angka Pengenal Importir Produsen (APIP) dan Angka Pengenal Distribusi Produsen (APDP) bagi perusahaan resmi. Skema ini dinilai lebih aman karena hanya mengizinkan impor bahan baku dan barang penolong yang benar-benar digunakan untuk produksi dalam negeri.
“Untuk bisa memberantas ini, pemerintah bisa melakukan tracking jejak aktornya atau follow the actor. Tinggal diikuti saja,” tegasnya. Ia juga mengungkapkan adanya kemungkinan keterlibatan sejumlah oknum aparat, terutama di sektor bea cukai dan pelabuhan, yang bekerja sama dengan jaringan mafia impor lintas negara.
Sebagai langkah strategis, INDEF mendorong pemerintah tidak hanya memperketat pengawasan, tetapi juga memperkuat inovasi dan promosi industri tekstil lokal. Upaya ini penting agar produk dalam negeri mampu bersaing, baik di pasar domestik maupun ekspor, serta mengembalikan kepercayaan konsumen terhadap kualitas produk tekstil Indonesia.