Industri tekstil kembali menjadi sorotan setelah tercatat sebagai satu-satunya sub sektor manufaktur yang mengalami kontraksi pada Oktober 2025. Berdasarkan hasil survei Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam Indeks Kepercayaan Industri (IKI), hanya sektor tekstil yang tertahan di bawah level ekspansi, yaitu pada posisi 49,74 poin. Padahal, secara keseluruhan IKI nasional masih menunjukkan tren positif dengan kenaikan 0,48 poin ke level 53,50.
Kemenperin mengungkapkan, melemahnya kinerja sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tak lepas dari derasnya arus impor, khususnya pada produk hilir seperti garmen. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenperin, Alexandra Arri Cahyani, menjelaskan bahwa peningkatan volume impor tekstil telah menekan pasar domestik. Produk impor, terutama dari Tiongkok dan Vietnam, membanjiri pasar dalam negeri dan membuat hasil produksi lokal sulit terserap.
Menurut Alexandra, impor bahan baku memang masih diperlukan untuk menjaga daya saing industri hulu. Namun, masuknya produk jadi dalam jumlah berlebih justru mengganggu ekosistem industri nasional. Ia menegaskan, Kemenperin mendukung penuh langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memberantas praktik impor ilegal dan mafia tekstil yang merugikan pelaku industri dalam negeri.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kontraksi ini sebagai sinyal serius atas tekanan berkelanjutan di sektor TPT. Wakil Ketua API, David Leonardi, menyebut melemahnya permintaan ekspor dan domestik sebagai akibat dari banjir impor murah. Kondisi tersebut diperparah dengan tingginya biaya produksi dalam negeri, mulai dari energi, logistik, hingga bahan baku.
David menegaskan, banyak pelaku industri kini mengurangi jam kerja dan kapasitas produksi akibat menurunnya permintaan. API mendorong pemerintah mengambil tiga langkah cepat: memperkuat pengawasan impor, meningkatkan efisiensi biaya industri, serta mempercepat kebijakan perlindungan dan hilirisasi TPT nasional.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto menyoroti dampak besar dari praktik impor ilegal pakaian bekas. Ia menyebut, bisnis pakaian bekas impor atau balpres menciptakan persaingan tidak sehat dan mengancam jutaan tenaga kerja sektor padat karya. AGTI, katanya, mendukung langkah pemerintah memperketat pengawasan dan penegakan hukum agar pasar domestik kembali sehat.
Nada serupa datang dari Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta. Menurutnya, banyak produsen lokal kini menumpuk stok karena hasil produksi tak terserap pasar. “Barang impor sudah menguasai pasar, sementara produsen dalam negeri kesulitan menjual produk dan menjaga arus kas,” ujar Redma. Ia berharap pemerintah tegas menghentikan praktik impor ilegal dan dumping agar industri hulu dan menengah bisa kembali hidup.
Di sisi lain, Kemenperin juga mencatat tantangan eksternal di pasar ekspor. Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, Rizky Aditya Wijaya, menjelaskan bahwa kontraksi juga dipengaruhi oleh penyesuaian permintaan global. Negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat dan Eropa sedang melakukan koreksi stok dan memperpendek siklus pemesanan dari enam–delapan bulan menjadi tiga–empat bulan.
Anne Patricia menambahkan bahwa penyesuaian ini berdampak pada redistribusi pesanan dari kuartal IV-2025 ke kuartal I-2026. Namun, ia menilai hal ini bersifat sementara. Banyak pabrik justru memanfaatkan masa jeda ini untuk meningkatkan efisiensi mesin, menghemat energi, dan mengatur ulang stok bahan baku.
Meski tekanan masih terasa, tanda-tanda pemulihan mulai muncul. Implementasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 17 Tahun 2025 disebut berhasil menahan laju impor barang jadi dan memperkuat keterkaitan antara sektor kain dan garmen nasional. Anne menyebut, utilisasi mesin di sektor kain rajut dan tenun kini stabil di kisaran 70–75%, menandakan aktivitas produksi yang mulai pulih.
Optimisme pun masih dijaga pemerintah. Rizky meyakini, menjelang akhir tahun, industri tekstil Indonesia dapat kembali masuk ke fase ekspansi jika sinergi antara penegakan hukum impor ilegal, efisiensi biaya, dan kebijakan perlindungan industri terus berjalan. Dengan pembenahan menyeluruh, industri TPT diharapkan mampu bangkit dari tekanan dan kembali menjadi penopang penting manufaktur nasional.