Industri tekstil dalam negeri kembali menghadapi tekanan serius akibat melonjaknya impor benang filamen sintetis dari China. Data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menunjukkan lonjakan impor tersebut mencapai antara 70 persen hingga 300 persen sejak 2017. Kondisi ini diperburuk oleh keputusan pemerintah yang menolak menerapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap produk-produk impor tersebut.

Investasi senilai Rp 10,2 triliun yang masuk ke sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada 2024 disambut positif, namun dinilai belum cukup untuk memulihkan industri yang tengah terpuruk. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, menegaskan bahwa meski patut disyukuri, investasi tersebut tidak bisa serta-merta menggantikan kapasitas produksi dan tenaga kerja yang telah kehilangan pekerjaan akibat gelombang penutupan perusahaan.

Indonesia tengah bersiap menyambut gelombang investasi asing di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), terutama dari Swedia, China, dan Jepang. Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa pada semester II tahun 2025, sejumlah perusahaan dari negara-negara tersebut akan menanamkan modalnya, terutama di segmen hilir seperti kain dan proses pencelupan yang lebih ramah lingkungan.