Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo terus memetakan kebutuhan tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen di wilayah Soloraya. Hingga 4 Maret 2025, total kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor telah mencapai 22.123 orang, dengan sekitar 8.000 di antaranya berasal dari sektor tekstil dan garmen.

Industri tekstil dalam negeri mengalami tekanan berat akibat maraknya impor ilegal. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) mengungkapkan bahwa praktik ini telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan sejumlah pabrik tekstil di berbagai wilayah, khususnya di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Industri tekstil dan garmen di Indonesia memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja, ekspor, dan output industri manufaktur. Namun, kombinasi berbagai masalah struktural dan dinamika ekonomi mendorong sektor ini semakin mendekati fase 'sunset industry'.

Para pelaku usaha di Indonesia meminta pemerintah mengambil langkah tegas dalam menertibkan organisasi masyarakat (ormas) yang kerap mengganggu dunia usaha, termasuk industri tekstil. Saat ini, industri tekstil dalam negeri sudah menghadapi tantangan berat akibat derasnya barang impor dan menurunnya daya saing, sehingga gangguan tambahan dari ormas semakin memperburuk kondisi.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (ApsyFi) menilai bahwa penutupan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengelola industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selama satu dekade terakhir. Berhentinya operasional Sritex dinilai akan melemahkan ekosistem industri tekstil nasional karena perusahaan ini memiliki peran strategis dalam rantai pasok dari hulu hingga hilir.