Industri tekstil Indonesia, meski berada di tengah masa kampanye politik yang sedang bergulir hingga Februari 2024, belum merasakan dampak signifikan dari peningkatan pesanan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, meskipun ada peningkatan pesanan untuk produk tekstil seperti kaos dan jaket, pertumbuhan kinerja masih jauh di bawah ekspektasi. Kondisi Krisis yang Membebani Industri Tekstil Pada umumnya, periode politik di Indonesia memicu peningkatan permintaan pasar terhadap produk tekstil tertentu seperti kaos, jaket, dan syal. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, industri ini mengalami kontraksi yang signifikan. Penurunan permintaan dan utilisasi manufaktur yang rendah menjadi sorotan utama.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia sedang dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang memengaruhi tidak hanya sektor tersebut, tetapi juga industri plastik. Efek domino dari PHK ini telah menyebabkan penurunan permintaan kemasan plastik, terutama di sektor peralatan rumah tangga. Menurut Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, penurunan ini disebabkan oleh dua faktor utama: daya beli dan efek cuaca. Hilangnya sumber pendapatan akibat PHK telah mengganggu daya beli masyarakat, sementara efek cuaca seperti kekeringan juga menjadi penyebab stagnasinya permintaan produk plastik hilir, seperti peralatan rumah tangga.
Sebuah inovasi menarik terungkap dari Hong Kong dengan pengembangan kain yang mampu bermetamorfosis warna. Sebuah tim peneliti dari sana berhasil menggabungkan serat optik polimer dan teknologi kecerdasan buatan untuk menciptakan tekstil cerdas yang memukau. Diluncurkan pertama kali di Milan Fashion Week, inovasi ini menjanjikan pengaruh besar bagi industri fesyen global. "Saya akan punya setiap warna untuk pakaian kesukaan saya," adalah ungkapan yang bisa menjadi nyata berkat kain revolusioner ini, yang dikembangkan oleh tim peneliti Hong Kong.
Page 307 of 324