Berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sejak Januari hingga Mei 2024, sebanyak 20 hingga 30 pabrik telah gulung tikar, mengakibatkan 10.800 karyawan kehilangan pekerjaan. Kementerian Perindustrian juga melaporkan bahwa hingga Juni 2024, enam pabrik besar telah tutup, yaitu PT Dupantex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusuma Putra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, PT Sai Aparel di Jawa Tengah, serta PT Alenatex di Jawa Barat, dengan total 11.000 buruh terkena PHK.
Kondisi ini menggambarkan bahwa PHK pekerja di industri tekstil kian mengkhawatirkan. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengatakan bahwa jika tidak ada solusi dari pemangku kebijakan, angka pengangguran akibat lesunya industri tekstil akan membebani pemerintah.
"Pekerja dari industri tekstil yang terkena PHK tidak akan mudah menemukan tempat kerja baru jika kondisi industri tekstil secara nasional masih lesu. Kami di Komisi IX concern dari sisi pekerja yang kehilangan pekerjaannya. Bagaimanapun bertambahnya angka pengangguran akan membebani pemerintah," kata Kurniasih di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2024.
Politisi PKS ini menyebut bahwa salah satu penyebab lesunya industri tekstil nasional adalah membanjirnya produk tekstil impor dengan harga yang jauh lebih murah. Kurniasih mengingatkan bahwa jika ada persoalan di hulu terkait sebuah industri padat karya, efeknya akan berdampak di hilir dari sisi pekerja.
"Komisi IX berkepentingan untuk memastikan perlindungan bagi pekerja termasuk dari ancaman PHK sepihak. Harap dicatat setiap kebijakan yang diambil harus diperhatikan dampaknya dari hulu ke hilir, jangan sampai atas nama kemudahan impor justru mengorbankan anak bangsa yang harus kehilangan pekerjaan," kata Legislator Dapil DKI Jakarta II ini.
Kurniasih juga mengingatkan bahwa keahlian para pekerja di bidang industri tekstil tidak serta merta bisa dialihkan ke industri lain atau diminta membuka usaha sebagai akibat PHK yang dilakukan industri.
"Pekerja korban PHK masih harus terus menghidupi keluarganya. Tidak mudah mencari kerja di industri tekstil yang lain jika sama-sama sedang lesu. Atau dipaksa menjadi wirausaha UMKM yang belum tentu mendapatkan pendapatan tetap," ingatnya.
Situasi ini menuntut perhatian serius dari pemerintah untuk mencari solusi yang komprehensif guna mengatasi permasalahan yang melanda industri tekstil. Perlindungan terhadap pekerja dan kebijakan yang mendukung industri lokal harus menjadi prioritas agar krisis ini tidak semakin parah dan berdampak lebih luas pada perekonomian nasional.