Industri tekstil lokal diprediksi tidak akan mengalami lonjakan signifikan selama perayaan Imlek dan Lebaran 2025. Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, hal ini disebabkan oleh dominasi barang impor yang telah menguasai lebih dari separuh pasar domestik. Stok barang impor yang melimpah membuat konsumen lebih memilih produk tersebut dibandingkan tekstil lokal.

Redma menjelaskan bahwa meskipun konsumsi masyarakat selama momen perayaan mungkin naik lebih dari 4%, pertumbuhan riil industri tetap akan negatif. Ia mengkritik perhitungan statistik yang sering kali tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, mengingat banyak barang impor ilegal dianggap sebagai produk domestik.

Kontribusi sektor tekstil terhadap PDB Indonesia juga diperkirakan akan turun drastis, dari 1,1% menjadi di bawah 1%, seiring dengan terus menurunnya utilisasi kapasitas produksi dan tren penutupan perusahaan. Faktor utama yang memperburuk kondisi ini adalah maraknya impor ilegal yang tidak terdeteksi akibat lemahnya sistem pengawasan Bea Cukai.

Redma menyoroti perlunya reformasi mendasar pada sistem pengawasan impor. Ia mengusulkan penerapan teknologi seperti AI scanner yang terintegrasi dengan big data, sebagaimana diterapkan di negara maju. Selain itu, jumlah scanner yang terbatas di pelabuhan utama Indonesia, seperti Tanjung Priok, memperparah situasi dan membuka celah manipulasi.

APSyFI mendesak pemerintah untuk segera menghentikan impor ilegal dan memperbaiki kinerja Bea Cukai. Jika perbaikan sulit dilakukan, Redma menyarankan agar sistem diganti dengan Pre Shipment Inspection, di mana kontainer diperiksa di negara asal sebelum masuk ke Indonesia.

Ia juga menyoroti perlunya tindakan tegas terhadap oknum yang terlibat dalam pelanggaran sistem pengawasan. Tanpa langkah konkret, masa depan industri tekstil nasional dipandang semakin suram, dengan risiko semakin terpinggirkannya produk lokal oleh dominasi barang impor.