Kasus kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, terus menjadi sorotan. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengingatkan bahwa penyelesaian masalah ini tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Dalam pernyataannya, Yassierli menegaskan bahwa penyelesaian polemik ini juga melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Ia menekankan pentingnya pembagian tanggung jawab antar-kementerian dalam menangani isu besar seperti ini.

"Kita ada batas-batas wewenangnya, tidak hanya Kemenaker, ada Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian. Jadi Sritex jangan terus-menerus diarahkan ke Kementerian Ketenagakerjaan," kata Yassierli, Jumat (17/1/2025).

Meski demikian, Kemenaker tetap menjalin komunikasi dengan Kemenko Perekonomian yang dipimpin Airlangga Hartarto. Yassierli juga menyatakan harapannya agar tim kurator, manajemen Sritex, dan serikat pekerja dapat bekerja sama mencari solusi terbaik.

Sementara itu, tim kurator menyatakan bahwa mereka tidak akan melanjutkan upaya "going concern" pada Sritex. Langkah ini diambil karena belum ada dasar hukum yang jelas untuk mendukung keberlanjutan usaha tersebut.

Selain itu, kurator menilai manajemen Sritex tidak kooperatif dan transparan dalam memberikan informasi terkait kondisi perusahaan. Hal ini dianggap melanggar Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), khususnya Pasal 98.

Kurator juga menemukan bahwa aktivitas operasional Sritex masih berjalan seperti biasa meskipun perusahaan dinyatakan pailit. Stok bahan baku dan hasil produksi di pabrik Sritex bahkan dinilai sangat mencukupi, bertentangan dengan klaim bahwa perusahaan mengalami kesulitan bahan baku.

Isu kepailitan Sritex ini mengungkap tantangan kompleks dalam menangani konflik kepailitan perusahaan besar. Penyelesaian masalah ini memerlukan sinergi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, manajemen perusahaan, kurator, dan pekerja. Dengan kolaborasi yang baik, diharapkan solusi yang adil dan berkelanjutan dapat dicapai.