Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan bahwa kondisi ketenagakerjaan di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) masih stabil, meskipun terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurutnya, peningkatan jumlah pekerja baru dalam beberapa industri mampu menutupi angka PHK tersebut. Ia merujuk pada hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024, yang mencatat kenaikan jumlah tenaga kerja di sektor industri pakaian jadi dibandingkan Agustus 2023. Pada Agustus 2024, tercatat sebanyak 2.895.881 orang bekerja di sektor ini, naik dari 2.693.406 orang tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, sektor TPT menyerap sekitar 3,97 juta pekerja dan menyumbang 20,51 persen dari total tenaga kerja di sektor manufaktur.
Menaker menilai bahwa meskipun ada PHK, masih terjadi pertumbuhan dan ekspansi dalam sektor industri, serta investasi baru. Produk domestik bruto (PDB) sektor tekstil dan pakaian jadi tumbuh sebesar 3,32 persen pada kuartal III 2024. Sementara itu, investasi asing langsung (PMA) meningkat signifikan sebesar 101,8 persen, walau investasi domestik (PMDN) mengalami penurunan 15,58 persen. Menaker menegaskan bahwa dinamika ini menunjukkan perlunya antisipasi dan mitigasi dari pemerintah agar keseimbangan sektor tetap terjaga.
Untuk mencegah kebangkrutan perusahaan-perusahaan di sektor TPT, pemerintah disebut telah menyiapkan berbagai kebijakan antisipatif, termasuk insentif fiskal seperti penundaan pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), subsidi biaya produksi, serta stimulus ekonomi melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah. Selain itu, ada dukungan restrukturisasi utang melalui bank-bank BUMN, perlindungan industri dalam negeri, diversifikasi pasar ekspor, hingga program digitalisasi dan inovasi industri.
Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa jumlah PHK masih menjadi sorotan. Hingga 23 April 2025, jumlah pekerja yang terkena PHK tercatat mencapai 24.036 orang, hampir sepertiga dari total PHK sepanjang tahun 2024 yang mencapai 77.565 orang. Jawa Tengah menjadi wilayah dengan angka PHK tertinggi sebanyak 10.692 orang, disusul oleh Jakarta dengan 4.649 orang dan Riau sebanyak 3.545 orang. Sektor industri pengolahan menjadi penyumbang PHK terbanyak dengan 16.801 kasus, diikuti oleh sektor perdagangan dan jasa lainnya.
Menaker mengungkapkan bahwa terdapat setidaknya 25 penyebab PHK yang berhasil diidentifikasi, dengan tujuh faktor dominan. Faktor-faktor tersebut meliputi kerugian perusahaan akibat turunnya permintaan pasar dalam dan luar negeri, relokasi perusahaan untuk mencari biaya tenaga kerja yang lebih murah, konflik hubungan industrial, balasan dari pengusaha atas aksi mogok kerja, efisiensi perusahaan, perubahan model bisnis, hingga kepailitan. Ia menekankan bahwa penanganan PHK harus dilakukan secara spesifik berdasarkan kasus yang terjadi di masing-masing perusahaan.