Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tengah menghadapi tekanan hebat akibat tantangan dari dalam dan luar negeri. Penurunan permintaan ekspor dari mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat yang mengenakan tarif hingga 32 persen pada sejumlah produk tekstil, menjadi salah satu faktor utama yang melemahkan kinerja sektor ini.
Situasi semakin rumit dengan wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY), dua bahan baku penting dalam industri tekstil berbasis poliester. Kedua jenis benang ini merupakan komponen utama dalam proses produksi kain sintetis dan produk tekstil lainnya, sehingga keberadaannya yang stabil dan terjangkau sangat krusial bagi industri hilir seperti garmen, konveksi, dan tekstil rumah tangga.
Para pelaku industri menyuarakan kekhawatiran bahwa kapasitas produksi dalam negeri untuk POY dan DTY belum cukup kuat, baik dari segi volume, kualitas, maupun harga. Mereka menilai bahwa pelaksanaan kebijakan perlindungan seperti BMAD memang penting, tetapi harus dilakukan secara hati-hati agar tidak memberikan tekanan berlebihan pada sektor hilir yang padat karya.
“Industri sangat memahami pentingnya instrumen trade remedies seperti BMAD. Namun, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan hulu dan hilir,” ujar Direktur PT Sipatamoda Indonesia, Ian Syarif, dalam pernyataan tertulis pada Rabu, 7 Mei 2025.
Berdasarkan data dari sejumlah perusahaan tekstil nasional, pengenaan bea masuk yang tinggi terhadap POY dan DTY dapat meningkatkan biaya produksi secara signifikan, yang pada akhirnya menggerus daya saing produk tekstil Indonesia di pasar lokal dan global. Dalam laporan akhir penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), bahkan diusulkan tarif BMAD hingga 42,30 persen.
Sebagai bentuk keprihatinan, lebih dari 101 perusahaan TPT nasional telah menandatangani petisi kepada Presiden Prabowo Subianto, mendesak agar kebijakan pengendalian impor dilakukan secara proporsional, dengan memperhitungkan kapasitas produksi dalam negeri serta kebutuhan bahan baku sektor hilir. Mereka berharap adanya kebijakan yang berbasis data dan mampu menjaga keseimbangan antarsegmen industri.
“Kami percaya, dengan kebijakan yang akomodatif dan berbasis data, Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan keberlanjutan ekosistem industri tekstil secara menyeluruh,” tambah Ian.
Industri TPT sendiri berperan besar dalam perekonomian nasional dengan menyerap lebih dari tiga juta tenaga kerja langsung dan menjadi kontributor utama ekspor nonmigas. Oleh karena itu, sinergi yang kuat antara sektor hulu dan hilir dinilai sebagai kunci untuk menghadapi tantangan global dan menjaga ketahanan industri dalam negeri.