Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia masih terus berada dalam kondisi yang penuh tekanan. Biaya produksi yang tinggi, ketergantungan pada bahan baku impor yang semakin mahal, serta ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantui keberlangsungan sektor ini di tahun 2025.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan perlunya langkah restrukturisasi menyeluruh bagi perusahaan-perusahaan tekstil agar tetap bisa bertahan dalam situasi sulit ini. Ia menyebut salah satu contoh yang relevan adalah perusahaan Duniatex yang harus menunjukkan komitmen kuat dari manajemen dan pemilik perusahaan untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian.

Kondisi di lapangan menunjukkan betapa sulitnya posisi industri tekstil saat ini. Direktur PT Anggana Kurnia Putra, Wilky Kurniawan, menyampaikan bahwa industri berada dalam dilema besar. Jika harga produk dinaikkan demi menyesuaikan dengan biaya produksi, daya beli masyarakat justru akan semakin menurun. Sementara itu, pasar domestik dibanjiri produk tekstil impor yang jauh lebih murah dan lebih kompetitif secara harga.

Wilky juga menyoroti beban tambahan berupa rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap bahan baku tekstil seperti Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY). Kedua bahan ini merupakan komponen penting dalam pembuatan benang, dan dengan pengenaan tarif BMAD yang tinggi, harga benang pun akan melonjak drastis. Kenaikan harga ini kemudian akan merambat ke proses produksi kain dan pakaian jadi, yang membuat produk dalam negeri menjadi semakin tidak kompetitif di pasaran.

Menurut Wilky, kebijakan BMAD yang diberlakukan secara sepihak justru hanya menguntungkan segelintir perusahaan di sektor hulu, sementara pelaku usaha di sektor hilir yang lebih padat karya harus menanggung beban berat. Ia menilai perlunya kebijakan perlindungan yang lebih merata dan adil terhadap produk dalam negeri agar seluruh ekosistem industri tekstil bisa bertahan dan tumbuh bersama.

Dampak dari tekanan industri ini pun mulai terlihat pada angka PHK yang terus meningkat. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli melaporkan bahwa hingga 23 April 2025, tercatat sebanyak 24.036 pekerja telah mengalami PHK. Dari jumlah tersebut, 16.801 berasal dari industri pengolahan, termasuk sektor tekstil, sementara sisanya tersebar di sektor perdagangan dan jasa.

Melihat kondisi ini, diperlukan langkah nyata dan terukur dari seluruh pemangku kepentingan untuk menyelamatkan industri tekstil nasional. Kebijakan fiskal, dukungan bahan baku yang terjangkau, hingga perlindungan terhadap produk lokal menjadi langkah strategis agar industri TPT tidak semakin terpuruk dan bisa terus memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional serta penyerapan tenaga kerja.