Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyoroti rencana pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang dinilai berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri padat energi.

PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN diketahui hanya mampu menyalurkan HGBT sekitar 48% dari total kebutuhan industri, dengan alasan adanya kondisi kahar (force majeure).

Akibatnya, kebutuhan gas selebihnya harus dipenuhi dengan harga jauh lebih tinggi, yakni di atas HGBT ditambah biaya surcharge hingga 120%.

Presiden KSPN, Ristadi, menegaskan bahwa keterbatasan pasokan HGBT ini justru sering tersendat, sementara pasokan gas non-HGBT relatif lebih lancar. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dan mengganggu proses produksi, khususnya di sektor keramik, baja, kaca, hingga petrokimia.

“Energi dengan harga kompetitif adalah faktor penting dalam menjaga investasi sekaligus mempertahankan keberlangsungan industri. Jika pasokan gas terus dibatasi dan harganya melonjak, produktivitas akan anjlok dan perusahaan tak punya pilihan selain melakukan efisiensi tenaga kerja, mulai dari merumahkan hingga PHK,” jelas Ristadi dalam keterangan tertulis, Rabu (21/8/2025).

Ia menambahkan, industri padat energi di Indonesia setidaknya menyerap 150.000 tenaga kerja. Dengan adanya pembatasan ini, risiko PHK massal dapat menimpa ratusan ribu pekerja.

Ristadi juga memperingatkan adanya efek domino yang bisa meluas ke sektor lain yang bergantung pada komponen baja, kaca, maupun keramik. Saat ini, menurutnya, sudah ada sekitar 700 pekerja yang dirumahkan akibat keterbatasan pasokan gas.

“Buruh di sektor padat karya masih dihantui ancaman PHK. Kini, ancaman itu semakin meluas ke industri padat energi. Jika ini dibiarkan, jumlah pekerja yang terdampak bisa melonjak drastis,” ujarnya.

Lebih lanjut, KSPN mendesak pemerintah untuk segera membatalkan kebijakan pengetatan pasokan HGBT karena dampaknya akan langsung dirasakan oleh pekerja, bukan hanya pelaku industri.