Industri Polyester di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar yang dapat mengancam kelangsungannya karena kesulitan memenuhi kebutuhan bahan bakunya, yaitu Mono Etilen Glikol (MEG). Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap industri turunannya, seperti industri tekstil dan sektor lainnya. Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswata, masalah ini disebabkan oleh kebijakan yang kurang cermat dalam mengatur pasokan MEG, yang saat ini mengalami kelangkaan atau shortage. Kebutuhan MEG di Indonesia yang mencapai 600.000 ton per tahun jauh melebihi kapasitas produksi domestik yang hanya sekitar 200.000 ton per tahun. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia bahkan hanya mampu memproduksi sekitar 50.000 ton MEG per tahun.

Tahun 2023 telah menjadi tahun yang penting bagi PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL) dengan penambahan 14 outlet baru untuk merek JOBB dan Jack Nicklaus. Langkah ekspansi ini tidak hanya menunjukkan komitmen BELL dalam memperluas kehadiran mereka, tetapi juga merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan kinerja penjualan melalui pendekatan omnichannel yang holistik. Dengan melihat prospek yang cerah dalam sektor ritel, BELL bersiap untuk menghadapi tahun 2024 dengan fokus pada inovasi produk yang berkelanjutan.

Industri manufaktur di Indonesia kini berada dalam tekanan serius, dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36/2023 yang mengancam kelangkaan bahan baku polyester. Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkapkan kekhawatiran bahwa kekurangan bahan baku dapat menghentikan produksi di belasan fasilitas manufaktur di tanah air. Peraturan ini, yang mengubah pengawasan impor dari post-border menjadi border, telah menjadi sumber kekhawatiran besar bagi para pelaku industri.