Pada tahun 2024, banyak industri garmen di Indonesia terpaksa tutup dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para karyawan. Fenomena ini terjadi akibat menurunnya minat terhadap produk tekstil di pasar domestik. Namun, kondisi berbeda dialami oleh industri batik yang justru terus menunjukkan pertumbuhan dan keberlanjutan.
Azwar Satrio Dirgantoro, Business Development Manager Hadinata Batik, menegaskan bahwa selama batik masih diakui sebagai bagian integral dari budaya Indonesia, permintaannya akan tetap stabil. Ia optimis bahwa industri batik memiliki masa depan cerah di tengah masyarakat.
"Selama batik masih diangkat menjadi budaya kita, batik masih memiliki potensi penjualan di masyarakat," ujar Satrio.
Menurutnya, batik memiliki nilai unik yang membedakannya dari produk tekstil lainnya. Tidak seperti pakaian sehari-hari yang dapat diproduksi di berbagai negara, batik memiliki identitas budaya yang khas dan tidak dapat ditiru oleh negara lain. Ia menambahkan, produk batik yang dibuat di luar Indonesia akan kehilangan nilai tradisinya dan tidak dapat menyamai otentisitas batik lokal.
"Kalau kita bicara baju casual, baju harian, itu semua negara bisa memproduksinya. Tapi kalau kita ngomong batik, tapi kemudian kita bilang batik produksi Cina, value-nya pasti sudah beda, jadi sudah bukan sesuatu dari tradisi kita," jelasnya.
Keunikan batik sebagai warisan budaya menjadikannya lebih dari sekadar produk fashion. Hal ini memungkinkan industri batik untuk terus bertahan dan bahkan berkembang, meskipun banyak sektor tekstil lainnya menghadapi tantangan berat.