Menjelang Lebaran tahun ini, dominasi barang impor, mulai dari kain hingga pakaian jadi, terus menggerus pangsa pasar industri tekstil lokal. Menurut Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), kondisi ini semakin memperburuk keterpurukan industri domestik yang belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Ketua Umum APSyFI, Redma G. Wirawasta, mengungkapkan bahwa harapan kini tertumpu pada momen awal masuk sekolah pada Juni mendatang, dengan catatan pemerintah dapat mengambil langkah serius untuk menekan laju impor.

Redma menyoroti kebijakan yang memicu lonjakan barang impor, khususnya Permendag Nomor 8/2024 yang melonggarkan regulasi impor. Ia mengusulkan agar aturan teknis seperti pada Permendag Nomor 36/2023 kembali diberlakukan guna melindungi pasar domestik. Langkah ini diharapkan dapat memberikan peluang bagi industri kecil dan menengah (IKM) untuk bangkit, yang secara bertahap juga akan berdampak positif pada sektor kain, benang, dan serat.

Selain revisi kebijakan, pengawasan terhadap Ditjen Bea Cukai juga menjadi sorotan utama. Maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik memperburuk tekanan pada pelaku industri tekstil. Redma menjelaskan, industri ini sejatinya memiliki potensi besar untuk memberikan nilai tambah ekonomi yang signifikan. Sebagai gambaran, bahan baku seperti PX (Paraxylene) dengan harga Rp5.000 per 0,30 kg dapat diolah menjadi pakaian jadi bernilai Rp104.000 per kilogram, mencerminkan kenaikan nilai hingga 200%.

Pada tahun 2023, kebutuhan konsumsi garmen domestik tercatat mencapai 2,26 juta ton dengan nilai konsumsi sebesar US$15,18 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa industri tekstil memiliki nilai ekonomi hingga Rp235 triliun per tahun. Dari sisi pajak, sektor ini juga memberikan kontribusi besar melalui PPN sebesar 11%, yang diperkirakan mampu menghasilkan pendapatan negara hingga Rp25 triliun per tahun. Jumlah ini belum termasuk pajak dari impor kapas, yang pada 2023 mencapai 611.550 metrik ton dengan potensi penerimaan pajak sekitar Rp18,95 triliun per tahun.

Redma menegaskan, untuk melindungi keberlanjutan industri tekstil, diperlukan kebijakan yang berpihak pada produk lokal. Ia mengusulkan agar pemerintah memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri dalam proyek-proyek strategis, termasuk pengadaan seragam sekolah dan kebutuhan lainnya. Jika tidak, tekanan yang terus meningkat akibat banjir impor dan barang selundupan dapat menyebabkan pabrik lokal yang memproduksi kain, benang, polyester, PTA, dan Paraxylene semakin terpuruk dan terancam gulung tikar.