Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah menjadi sorotan dengan potensi masuknya investasi baru. Meski demikian, kedatangan investasi ini tidak otomatis menyelesaikan persoalan yang membayangi sektor TPT dalam negeri.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Taufiek Bawazier, mengungkap bahwa terdapat 3-4 perusahaan asing yang berminat membangun pabrik Mono Etilen Glikol (MEG) di Kalimantan. MEG adalah bahan baku utama benang poliester yang sangat dibutuhkan oleh industri tekstil, di mana saat ini 90% kebutuhannya masih harus diimpor. Namun, identitas calon investor ini belum diungkap secara jelas.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa meskipun sektor TPT menghadapi banyak tantangan, minat investor asing tetap ada. Salah satu indikasinya adalah komunikasi dengan Taiwan Textile Federation mengenai kemungkinan relokasi pabrik TPT dari China ke Indonesia. Namun, prasyarat yang diminta, seperti harga gas di kisaran US$ 6 per MMBTU, menjadi kendala besar bagi implementasi rencana tersebut.
Selain itu, terdapat calon investor dari China yang berencana membangun pabrik benang filamen texturizing di Indonesia dan sudah mempersiapkan perekrutan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa sektor TPT tetap memiliki daya tarik meski sedang menghadapi tekanan berat.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, kedatangan investor baru bisa menjadi pemacu semangat di industri TPT. Namun, ia menekankan pentingnya perlakuan yang adil dari pemerintah terhadap pemain baru maupun lama demi menjaga persaingan pasar yang sehat.
Meskipun demikian, investasi baru ini diperkirakan tidak akan mampu mengatasi masalah mendasar yang membelit sektor TPT. Sejak pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024 yang melonggarkan impor produk jadi, industri TPT nasional semakin terpuruk. Liberalisasi impor tersebut dinilai melemahkan daya saing produk dalam negeri dan memperparah kondisi industri.
Investasi baru juga tidak bisa menutupi dampak sosial berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah terjadi. Dalam dua tahun terakhir, APSyFI mencatat ada 60 perusahaan TPT lokal yang bermasalah, dengan 34 perusahaan di antaranya telah tutup atau menghentikan operasi. Sisanya terpaksa melakukan efisiensi melalui pengurangan karyawan atau relokasi usaha.
Sementara potensi investasi baru di sektor ini memberikan harapan, tantangan yang ada mengingatkan pentingnya kebijakan yang mendukung industri dalam negeri secara keseluruhan. Jika tidak, dampak positif dari kedatangan pemain baru dapat tertutupi oleh masalah struktural yang belum terselesaikan.