Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa masih terbuka peluang bagi industri tekstil dan alas kaki Indonesia di pasar Amerika Serikat, meski negeri Paman Sam menerapkan kebijakan tarif impor tinggi. Hal ini disampaikan di tengah meningkatnya kekhawatiran pelaku usaha atas kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Kebijakan tarif tersebut akan berlaku mulai 9 April 2025, di mana Indonesia dikenai tarif sebesar 32 persen. Sementara itu, negara tetangga seperti Vietnam terkena tarif 46 persen, Laos 48 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Malaysia 24 persen. Selain itu, semua negara juga dikenai tarif global tambahan sebesar 10 persen yang sudah diberlakukan sejak 5 April.

Airlangga mengungkapkan bahwa ASEAN sepakat untuk tidak mengambil langkah balasan atau retaliasi terhadap kebijakan AS tersebut. Sebaliknya, jalur negosiasi akan menjadi pendekatan utama yang ditempuh bersama. Untuk itu, para pemimpin atau menteri perdagangan negara-negara ASEAN direncanakan akan bertemu pada 10 April, dan Indonesia kemungkinan akan diwakili oleh Menteri Perdagangan, Budi Santoso.

Dalam pertemuan dengan sekitar 100 asosiasi industri, Airlangga menyampaikan bahwa sektor alas kaki dan pakaian merupakan yang paling terdampak dari kebijakan ini. Meski demikian, ia optimistis karena Indonesia masih memiliki peluang di tengah tekanan tersebut. Negara pesaing seperti China, Vietnam, dan Bangladesh justru terkena tarif yang lebih tinggi, sehingga membuka celah bagi produk Indonesia untuk tetap bersaing di pasar AS yang besar.

Airlangga juga menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menjalin komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR), dan kini tengah menyusun proposal konkret sebagai bagian dari langkah negosiasi. Salah satu mekanisme yang akan digunakan adalah melalui Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang telah ditandatangani sejak 1996. Ia menilai banyak isi TIFA yang kini sudah tidak relevan, sehingga perlu diperbarui untuk memasukkan isu-isu perdagangan yang lebih aktual.

Melalui strategi kolaboratif ASEAN, pendekatan bilateral yang lebih tajam, serta pemanfaatan celah tarif yang menguntungkan, pemerintah berharap sektor industri dalam negeri tetap dapat mempertahankan daya saingnya dan menjaga kestabilan ekspor di tengah tantangan global yang terus berubah.